REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- "Saya tak pernah peduli dengan politik sebelum kerusuhan 2011, tapi sekarang saya tahu suara saya berarti dan saya memberi suara dalam pemilihan presiden terakhir dan referendum konstitusi," kata Umm Hussein, perempuan buta huruf di Mesir.
Umm Hussein adalah salah satu dari banyak ibu rumah tangga di Mesir yang kesadaran politiknya meningkat sejak kerusuhan 2011, yang menggulingkan mantan presiden Hosni Mubarak.
Selain itu, empat cucunya secara tak biasa memberi suara mereka dalam pemilihan presiden 2012, pemilihan anggota parlemen sesudahnya serta referendum konstitusi belum lama ini, kata Umm Hussein kepada Xinhua pada Hari Perempuan Internasional.
Perempuan pemilih di Mesir secara aktif ikut dalam referendum mengenai undang-undang dasar pada pertengahan Januari, saat antrian panjang perempuan memenuhi seluruh tempat pemungutan suara di negeri tersebut.
"Ibu rumah tangga adalah orang yang sungguh menderita akibat semua masalah di negeri ini seperti harga yang naik, sebab kami mengelola rumah kami dan kami lebih terlibat ketimbang lelaki dalam keperluan rumah dan rumah tangga," kata perempuan yang berusia di atas setengah baya itu.
Umm Hussein menyatakan antusiasme politik kaum perempuan meningkat ketika mereka merasa keikut-sertaan mereka dapat membuat perbedaan.
Umm Hussein menambahkan akan ikut dalam pemilihan presiden mendatang dan optimistis masa depan yang lebih baik.
Perempuan, menurut laporan belum lama ini dari Lembaga Sentral bagi Statistik dan Mobilisasi Masyarakat, merupakan 48,9 persen dari 94 juta warga Mesir, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad.
Selain itu, perhatian politik perempuan tua dan buta huruf sebelum Januari 2011, perempuan lebih muda yang terdidik juga kekurangan perhatian serta kesadaran politik semacam itu.
"Saya bahkan tidak tahu nama perdana menteri Mesir saat itu, tapi selama tiga tahun belakangan saya mengikuti siapa yang dipecat dan siapa yang diangkat di dalam kabinet," kata Amal Mohamed, perempuan yang berusia 24 tahun, di satu pasar swalayan di Ibu Kota Mesir, Kairo.
Amal Mohamed, yang menyelesaikan pendidikan sekolah tinggi di bidang komersial, memberitahu Xinhua bahwa perempuan Mesir sekarang menginginkan perubahan bagi yang lebih baik untuk negara mereka demi anak mereka dan generasi masa depan.
Perempuan muda tersebut mengenang ia dilahirkan dan menjalani kebanyakan hidupnya saat Hosni Mubarak menjadi presiden dan putranya mungkin menjadi "pewarisnya". "Kami menerimanya jadi kami tidak peduli," kata perempuan itu.
"Namun setelah aksi perlawanan, kami menyadari kami telah menanggung korupsi selama bertahun-tahun dan kami tak ingin mengulangi penderitaan itu," kata Amal Mohamed menegaskan.
Ia menyatakan sekarang lebih tertarik untuk menyaksikan saluran berita dan acara tayang-bincang politik di TV dibandingkan dengan menonton film dan opera sabun.