Ahad 09 Mar 2014 20:15 WIB

Konsultan Penerbangan: Kasus Malaysia Airlines Bukan Kecelakaan Biasa

Rep: Wulan Tunjung Palupi/ Red: Bilal Ramadhan
Menteri Transportasi dan Pertahanan Malaysia dalam konferensi pers hilangnya Malaysia Airlines, Ahad (9/3).
Foto: Edgar Su/Reuters
Menteri Transportasi dan Pertahanan Malaysia dalam konferensi pers hilangnya Malaysia Airlines, Ahad (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Hilangnya pesawat Malaysia Airlines 370 mengundang banyak pertanyaan. Hilangnya pesawat merupakan salah satu kecelakaan aviasi yang paling jarang ditemukan. Misteri ini semakin lengkap dengan tak jelasnya lokasi hilangnya pesawat.

Saat pesawat lepas landas dan mendarat adalah saat-saat paling krusial dan yang paling banyak menyumbang dalam angka kecelakaan pesawat. Terlebih pesawat dengan rute Kuala Lumpur-Beijing itu terbang saat cuaca dilaporkan cerah.

Pilot pesawat tidak melaporkan adanya gangguan apapun, tanda-tandanya adanya kerusakan pesawat pun belum terdeketeksi. Berdasarkan komunikasi terakhir dengan kru, pesawat Boeing 777-200ER itu kemungkinan jatuh di perairan Vietnam.

Dua penumpang yang kedapatan bepergian dengan menggunakan paspor palsu itupun menguatkan dugaan ini bukan kecelakaan biasa. “Pesawat tidak jatuh begitu saja,” kata Paul Hayes Direktur Keselamatan di Flightglobal Ascend, konsultan keselamatan penerbangan yang berbasis di Inggris. “Ini adalah kejadian yang sangat tidak biasa,” katanya.

Kejadian serupa terjadi pada Air France penerbangan nomor 447 yang jatih di Samudra Atlantik pada 2009. Pesawat itu bertolak dari Rio de Janeiro, Brazil menuju Paris. Peristiwa ini memunculkan kembali perdebatan mengenai apakah perekam kotak hitam penerbangan harus diganti dengan sistem satellite-based yang mampu mengirimkan telemetri secara real time. Sistem tersebut ada, namun dikesampingkan karena biaya yang cukup mahal.

Sementara itu menjadi perdebatan siapa yang akan memimpin dalam upaya mengungkap jatuhnya pesawat maskapai Malaysia ini. Di bawah aturan badan Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), pemerintah di mana pesawat jatuh memiliki yurisdiksi atas bangkai pesawat dan berhak memimpin penyelidikan. Sehingga berdasarkan peraturan ICAO hingga puing-puing itu ditemukan, belum jelas siapa yang berhak memimpin penyelidikan.

Namun jika pesawat itu jatuh di perairan internasional maka Malaysia dapat memimpin penyelidikan. Selain itu Amerika Serikat sebagai pembuat pesawat juga pasti dilibatkan. Selain itu pimpinan penyelidikan juga berhak meminta bantuan negara lain.

Pesawat berusia 11 tahun itu lepas landas pada pukul 12.41 dinihari Sabtu (8/3) dan menurut Malaysia Airlines komunikasi  terakhir dengan pesawat tersebut tercatat dilakukan pukul 1.30 dinihari. Pesawat itu terakhir kali melakukan kontak dengan air traffic controller saat berada di jarak 120 mil laut di sebelah timur Kota Baru. Saat itu pesawat diperkirakan mencapai ketinggian 35 ribu kaki.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement