Selasa 11 Mar 2014 18:54 WIB

Aksi-Aksi Moderat Dinilai Belum Tercapai

Rep: Alicia Saqina/ Red: Julkifli Marbun
KH Hasyim Muzadi
Foto: Republika
KH Hasyim Muzadi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Negara-negara di ASEAN tengah dihadapkan pada persoalan melunturnya prinsip-prinsip moderasi. Di tengah situasi sejumlah negara ASEAN yang diguncang oleh masalah munculnya kelompok keagamaan yang cenderung ekstremis, maka aksi-aksi moderat untuk mencapai keadilan yang utuh harus digalakkan.

 

Anggota Dewan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengatakan, sebenarnya konsep-konsep terkait moderasi sudah banyak dibahas, namun hal yang masih minus ialah pelaksanaan aksi moderasinya.

"Jika dalam negara, kelompok moderat disebut-sebut, memang kelompok moderat ada di semua agama. Kelompok esktrem juga ada di semua agama. Hanya, kelompok moderat ini cenderung diam," ujar Abdul, Selasa (11/3), saat ditemui dalam acara "Moderation as a Concept in Foreign Policy and How It Can Put Into Practice by ASEAN", di Jakarta.

 

Sehingga, kata dia, aksi kelompok moderat yang cenderung diam itu tertutupi oleh kelompok esktrem yang lebih bersuara. Abdul menilai, hal itu lah yang menimbulkan persepsi kelompok ekstremis mendominasi. Padahal menurutnya, di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara Asia Tenggara lain, gerakan moderat lah yang dominan. "Namun yang lebih muncul saat ini ialah ekstremitas di semua agama," ucapnya.

 

Abdul menjelaskan, sesungguhnya poin terpenting terkait moderasi sebagai konsep dalam ASEAN ini adalah perlu dipertanyakannya ialah, mengapa tema diskusi kali itu mengemuka. Menurutnya, problem keadilan dan kesetaraan ekonomi bukan lah menjadi alasan utama moderasi tak terlalu kuat. Akan tetapi, kesenjangan yang timbul dari pertumbuhan ekonom itulah yang harus menjadi perhatian negara.

 

Menurut Abdul jika moderasi ingin lebih mengemuka dibanding kelompok ekstremis, maka harus diiringi dengan demokrasi. Mantan Ketua Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim Muzadi pun berkomentar. Ia mengatakan, sebenarnya persoalan munculnya gangguan agama, terkhusus di Tanah Air, belum pernah terjadi.

"Tidak ada gangguan. Gangguan itu kan baru ada belasan tahun belakangan ini. Artinya itu bukan genuine dari kebudayaan kita. Berabad-abad tak pernah ribut soal agama," ujar dia.

 

Hasyim mengutarakan, kemungkinan terjadinya ekstremisme karena tak bisanya menyeimbangi percepatan demokrasi. Malahan yang terjadi ialah demokrasi yang buruk.

 

Ia menilai konsep-konsep sesungguhnya dari moderasi ialah seperti yang selama ini ada di tubuh Indonesia. ''Yaitu seperti yang dijabarkan dalam UUD dan Pancasila,'' kata Hasyim.

 

Namun senada dengan Abdul, ia berpandangan, moderation in action, belum lah dijalankan. Ia mengungkapkan, saat berbicara tentang konsep dan prinsip moderasi, maka Indonesia lah yang paling menonjol. Negara-negara Barat pun sangat mengagumi itu. Akan tetapi, kala persoalan ini mencuat, ucapnya, maka hancur lah bangsa Indonesia.

 

Menurutnya, aksi-aksi moderasi di Indonesia belum berubah. Masih sebatas konsep dan prinsip."Oleh karenanya, kebijakan pemerintah pun harus berhikmah. Sebab, hukum belum tentu Adil. Nah, adil ada dalam hikmah itu," ungkapnya.

 

Selain itu, ia menilai respon masyarakat kini pun semakin melemah. Sebabnya, kata dia, karena pragmatisme rakyat yang sudah dibeli pemerintah.

 

Hasyim menekankan pentingnya hikmah, agar demokrasi suatu negara pun tidak dikalahkan oleh oligarki, monopoli demokrasi, ataupun politik dinasti. "Maka dari itu, kembalilah ke Indonesia, kamu akan memimpin dunia," ujar Hasyim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement