REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Politik Ukraina, yang saat ini dicabik-cabik oleh negara tetangga Rusia, membuat sebagian elit negara ini menyesali kebijakan denuklirisasi negara itu sekitar 20 tahun yang lalu.
Pasca runtuhnya Uni Soviet, Ukraina menjadi negara dengan persenjataan nuklir terbanyak negara-negara mantan Uni Soviet selain Belarusia dan Kazakhstan.
Negara ini bahkan pernah menjadi pemilik senjata terbanyak di dunia, sebanyak 1.900 hulu ledak nuklir, setelah Amerika Serikat dan Rusia. Namun negara ini memusnahkan dan memberikan semuanya ke Rusia dengan jaminan keamanan.
"Ada semacam sentimen di Ukraina bahwa kami telah melakukan kesalahan," kata Pavlo Rizanenko, anggota Parlemen Ukraina kepada USA Today minggu ini dilaporkan TIME.
"Di masa depan, bagaimanapun penyelesaian krisis Crimea, kami membutuhkan Ukraina yang lebih kuat. Jika anda mempunyai senjata nuklir, orang tidak akan menginvasi anda."
Apa yang disuarakan oleh Rizanenko ini mirip dengan suara mantan Presiden Georgia Mikheil Saakashvili yang dua wilayahnya Osetia Selatan dan Abkhazia lepas memerdekakan diri dengan dukungan pasukan Rusia.
Pernyataan kekecewaan denuklirisasi ini tentunya mengecewakan para politisi Washington.
"Ukraina masih mampu membuat bom," tegas Rizanenko.
Namun banyak yang berpendapat, penyesalan Ukraina itu sudah terlambat. "Ukraina tidak memiliki skenario jangka pendek untuk membuat senjata nuklir," kata Gary Samore, mantan pejabat di lingkaran Presiden Obama.
Ukraina juga dinilai sudah tidak mempunyai infrastruktur memadai untuk membuat bom nuklir dalam jumlah masif untuk menandingi ribuan hulu ledak nuklir Rusia.