REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Lagi, kabar duka datang dari saudara-saudara kita yang berada di Gaza, Palestina.
Akibat blokade yang dilakukan Pemerintah Israel selama tujuh tahun terakhir, krisis kemanusiaan terjadi di sana. Ditambah dengan ditutupnya akses perbatasan Rafah yang menghubungkan antara Gaza dan Mesir.
Abdillah Onim, Koordinator PPPA Daarul Qur’an di Gaza dalam siaran pers melaporkan, Ahmad Omar Abo Nahl, bayi berusia tiga bulan menjadi korban akibat susahnya akses kesehatan keluar Gaza. Ahmad Omar mengalami pembengkakan hati dan liver hingga kejang-kejang.
Rumah Sakit Syifa Gaza City, hanya sanggup memberinya bantuan pernafasan oksigen, karena minimnya alat kesehatan yang tersedia. Solusinya Ahmad Omar musti dirujuk ke Rumah Sakit di Mesir atau Yordania. Namun di Rafah, otoritas Mesir tidak membukakan jalan.
Lalu pihak medis balik arah, mencoba melewati pintu perbatasan penyeberangan Erez (pintu penyebrangan antara Gaza dan Israel), tetapi pihak Israel tidak mengijinkan Ahmad untuk berobat ke Tepi Barat. Ahmad Omar pun gugur dengan wajah pucat membiru dalam gendongan sang ayah dan tangis ibunya.
“Saya ingin agar seluruh negara Arab mengetahui, jika mereka tidak mau tahu maka Allah SWT Maha Mengetahui. Saya ingin dunia tahu tentang kematian Ahmad dan balita-balita lainnya yang tewas di Rumah Sakit akibat tidak dapat dirujuk ke Rumah Sakit di luar Gaza,'' ungkap ayah Ahmad Omar pilu.
Ia mempertanyakan, ''Di mana tanggung jawab dunia Internasional? Jika kalian tidak beragama, minimal kalian memiliki rasa persaudaraan dan peduli atas kemusiaan. Jika kalian tidak peduli urusan negara Arab, minimal kalian peduli akan kemanusiaan,” ujar ayah Ahmad sambil menggendong mayat anaknya.
Blokade terhadap kota Gaza menimbulkan krisis kemanusiaan di kota berpenduduk lebih dari 1,7 juta jiwa tersebut. Masyarakat Gaza harus terbiasa menjalani hidup tanpa listrik, karena listrik dipasok Zionis Israel serta Mesir dan sekarang sudah distop.
Mereka juga terbiasa kelangkaan bahan bakar minyak yang memaksa para sopir menganggur, dan para pegawai sipil hanya menerima gaji sekali dalam empat bulan itu pun hanya separuh gaji.
Selama ini gerbang Rafah menjadi pintu masuk bantuan ke Gaza dari masyarakat muslim seluruh dunia. Namun, sejak pintu perbatasan ditutup Pemerintah Mesir, praktis bantuan dari luar Gaza tidak masuk.
Terbaru, rombongan Program Pembibitan Penghafal Alquran (PPPA) Daarul Qur’an yang ingin masuk Kota Gaza dalam rangka membawa bantuan sekaligus melihat proses pembangunan rumah tahfidz, terpaksa balik badan karena pintu perbatasan ditutup.
Saat ini, pembangunan Rumah Tahfidz di Gaza sudah 80 persen, karena kondisi keamanan dan mahalnya bahan material membuat pembangunan Rumah Tahfidz tersebut terhambat,
''Rumah Tahfidz ini, insya Alllah menjadi tempat bagi anak-anak Gaza menghafal Qur'an,'' ungkap Tarmizi Ashidiq, Direktur Eksekutif PPPA Daarul Quran yang mencoba masuk Gaza.
Tarmizi dan rombongan selama enam hari tertahan di El Aris, kota terdekat dengan perbatasan Gaza. “Kita juga berkali-kali mendatangi perbatasan Rafah, tetapi otoritas Mesir tidak membuka pintu perbatasan tersebut” ungkap Tarmizi kecewa.