Jumat 21 Mar 2014 09:36 WIB

Rusia Umumkan Sanksi pada Para Pejabat AS

Russian President Vladimir Putin addresses the Federal Assembly, including State Duma deputies, members of the Federation Council, regional governors and civil society representatives, at the Kremlin in Moscow, March 18, 2014.
Foto: Reuters/Maxim Shemetov
Russian President Vladimir Putin addresses the Federal Assembly, including State Duma deputies, members of the Federation Council, regional governors and civil society representatives, at the Kremlin in Moscow, March 18, 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Kementerian Luar Negeri Rusia pada Kamis menjatuhkan sanksi-sanksi terhadap sembilan pejabat senior Amerika Serikat sebagai pembalasan larangan visa AS dan pembekuan-pembekuan aset terhadap pejabat Rusia.

Gedung Putih Senin resmi memberlakukan sanksi-sanksi terhadap pejabat Rusia yang terlibat langsung dalam mendestabilisasi Ukraina.

Sanksi-sanksi AS ditargetkan pada tujuh pejabat tinggi Rusia yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin, termasuk Pembantu Presiden Vladislav Surkov, Ketua majelis tinggi parlemen Valentina Matviyenko, dan Wakil Perdana Menteri Dmitry Rogozin.

Daftar diperpanjang pada Kamis dan sekarang termasuk Pembantu Presiden Andrei Fursenko, Kepala Staf Kantor Eksekutif Presiden Sergei Ivanov, kepala dinas intelijen militer Rusia GRU Igor Sergun, Kepala Monopoli Kereta api Rusia RZD Vladimir Yakunin dan sejumlah senior anggota parlemen .

"Kami telah berulang kali memperingatkan bahwa penggunaan sanksi adalah bermata dua dan memiliki efek bumerang," kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan.

Daftar pejabat AS yang dilarang dari Rusia terdiri dari Wakil Penasihat Keamanan Nasional Ben Rhodes dan Caroline Atkinson, Senator John McCain, Harry Reid, Robert Menendez, Daniel Coats dan Mary Landrieu, Ketua DPR John Boehner dan Dan Pfeiffer, seorang penasihat senior Presiden Barack Obama.

Washington menolak untuk mengakui fakta yang jelas bahwa orang-orang dari Crimea telah memilih untuk reunifikasi dengan Rusia, yang menghormati dan menerima pilihan mereka, kata kementerian itu dan menambahkan bahwa referendum itu demokratis dan mematuhi hukum internasional serta Piagam PBB.

Crimea, sebelumnya sebuah republik otonom di dalam Ukraina, menolak untuk mengakui legitimasi pemerintah Kiev yang tampil berkuasa di tengah protes kekerasan bulan lalu dan mengupayakan reunifikasi dengan Rusia setelah 60 tahun sebagai bagian dari Ukraina.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement