REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA-- Pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyelidiki perlakuan Israel terhadap Palestina, pada Jumat menuduh negara Yahudi itu melancarkan kebijakan pembersihan suku dan apartheid.
"Kenyataan di lapangan memburuk dari sudut pandang hukum antarbangsa dan sudut pandang rakyat Palestina," kata Richard Falk, warga Amerika Serikat berusia 82 tahun, profesor emeritus hukum di universitas Princeton, kepada wartawan.
Falk dijadwalkan mundur pada bulan ini dari pemantau Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk wilayah Palestina, yang diambil alih oleh Israel pada 1967, yakni Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur.
Sejak diangkat pada 2008, ia menyatakan Israel membangun kian banyak permukiman di wilayah Palestina, memberlakukan hukuman kelompok di Gaza, menghancurkan rumah dan berulang kali menggunakan kekuatan berlebihan.
Ia juga menuduh Israel upaya sistematik dan terus mengubah susunan suku di Yerusalem Timur dengan membatalkan ijin tinggal warga Palestina, menyita harta dan memungkinkan pemukiman gelap Israel di sana.
"Ini diskriminasi sistematik atas dasar jatidiri suku, dengan tujuan menciptakan perbedaan kependudukan di Yerusalem," katanya, dengan menyebutnya sebagai bentuk pembersihan suku.
"Semua itu, yang salah menurut sudut pandang hukum antarbangsa, berlangsung terus dan meningkat selama enam tahun saya bertugas," katanya.
"Yang disebut pendudukan sekarang dipahami lebih luas sebagai bentuk pencaplokan, wujud apartheid dalam arti bahwa ada pranata ganda hukum membedakan, memberikan perlindungan hukum kepada pemukim Israel dan menyasar penduduk Palestina di bawah pendudukan untuk kelanjutan tinggal tanpa hak," tambahnya.
Falk berulang kali bersitegang dengan Israel, Amerika Serikat, Kanada dan beberapa kelompok hak asasi untuk sikap, termasuk panjahat perang bagi Israel atas serangan terhadap Gaza pada 2008, dan mendesak boikot terhadap perusahaan pembantu upaya pemukiman Israel di wilayah Palestina.
Washington menyatakan ia harus berhenti dari peran PBB, yang seperti pemantau lain hak asasi di badan dunia itu, ia bertugas secara sukarela tanpa dibayar.