REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Putusan Pengadilan Mesir, Senin (24/3), menyatakan vonis mati pada 529 anggota Ikhwanul Muslimin. Putusan tersebut dinilai sebagai kasus tercepat, dengan hukuman mati terbesar dalam sejarah peradilan Mesir.
Senin, sebanyak 545 terdakwa dari kelompok Ikhwanul Muslimin kembali menghadapi proses peradilan di Provinsi Minya. Mereka diadili atas tuduhan kekerasan, menghasut pembunuhan, menyerbu kantor polisi hingga melakukan penyerangan pada orang dan fasilitas publik.
"Ini adalah kasus tercepat dan jumlah hukuman mati terbesar dalam sejarah peradilan," kata pengacara Nabil Abdel Salam. Salam selama ini dikenal sebagai pengacara yang membela beberapa pemimpin Ikhwanul termasuk, Presiden terguling Muhammad Mursi.
Sementara itu, televisi pemerintah hanya melaporkan putusan tersebut tanpa komentar lebih lanjut. Juru bicara pemerintah pun tak menanggapi perihal vonis yang dijatuhkan hakim tersebut.
Walid salah seorang kerabat korban mengatakan pada Reuters, sidang sudah dimulai sejak sabtu. Namun menurutnya sidang yang digelar hanya sebatas prosedural, dan hakim tak mendengarkan permintaan dan pendapat pengacara atau saksi.
"Bahkan tak memanggil terdakwa, ini sekelompok preman dan bukan lembaga peradilan," ungkap Walid.
Pemerintah selama ini telah menyatakan Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok teroris. Sementara Ikhwanul Muslimin bersikeras, selama ini mereka melakukan aksi protes damai.
Analis mengatakan, sejumlah anggota Ikhwanul Muslimin bisa berubah melakukan aksi kekerasan jika pemerintah terus menaikan tekanan pada gerakan. Selama ini pemerintah Mesir tak membuat perbedaan antara Ikhwanul Muslimin dan kelompok militan di Semenanjung Sinai.
Sementara itu, Mursi dan sejumlah pemimpin Ikhwanul Muslimin yang berada di pengadilan menuduh militer Mesir melakukan kudeta. Mereka juga menganggap militer merusak demokrasi di negara tersebut.