REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menganggap vonis mati yang dijatuhkan pengadilan Mesir kepada 529 aktivis Al-Ikhwanul Muslimin di Mesir jelas merupakan 'genosida' yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Solusi yang sangat tidak layak ini, pada gilirannya, akan memicu 'global conflict' lebih serius, yang tidak hanya disebabkan kemarahan kolektif jamaah yang sama, namun juga memicu keprihatinan kolektif masyarakat lainnya atas nama kemanusiaan dan HAM.
Pendapat ini diungkapkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Maksum Machfoedz, yang juga Ketua Badan Halal NU (BHNU), saat dihubungi Republika pada Selasa siang (25/3) melalui surat elektronik (email).
"Ada pelanggaran seberat apapun, menjadi indah sekali kalau solusinya bukan genosida, apalagi ethnic cleansing, karena hal ini hanya menimbulkan balas dendam bergantian dan tanpa ujung," tegas Maksum Machfoedz.
Karena itu, lanjut Maksum Machfoedz yang perlu dibangun adalah etika kesepahaman, "the rule in use," yang harus diadopsi dalam keberagaman keberagaman.
Jika tidak ada etika kesepahaman, maka singgungan sedikit saja tentang keyakinan sudah pasti meledak menjadi "collective violence". Maka rusaklah kedamaian bertetangga (peaceful coexistence) dan akan berlangsung terus-menerus.
"Walaupun kasus ini sudah campur aduk antara kepentingan agama, politik dan ekonomi, yang diiringi pula rivalitas teramat keras, maka tidak seharusnya polemik multidimensi ini diselesaikan dengan "genocide," pembunuhan kolektif, "ethnic cleansing," dan sejenisnya," jelas Maksum Machfoedz.
Sejak NU berdiri lebih dari 85 tahun yang lalu, NU telah mempromosikan perdamaian inter dan antar ummat beragama. Melalui keyakinannya atas HAM, papar Maksum Machfoedz, terdapat lima hak yang harus dilindungi dan sejak dahulu diperjuangkan oleh NU.
Terdapat lima hak esensial yang harus diperjuangkan dan dilindungi, yaitu: Hak Keberagamaan, Keselamatan Jiwa, Berpikir, Berpendapat, dan atas Hak Privat lain yang non-diskriminatif.
"5 hak esensial ini harus dilindungi dengan mengedepankan toleransi dan kesepahaman atas perbedaan apapun. Apapun!," tegas Maksum Machfoedz fengan nada serius.
Sehingga bagi NU, ungkap Maksum Machfoedz, teror dan kekerasan apapun tidak bisa dilawan dengan kekerasan lainnya. Apalagi sekedar pemikiran berbeda atau aliran keyakinan.
Prinsip NU
Seabad lalu, tutur Maksum Machfoedz, para kyai prihatin dengan dua jenis penjajahan besar, yaitu: 1. Penjajahan Kebangsaan yang dilakukan oleh Belanda biadab, dan 2. Penjajahan keberagamaan yang melecehkan agama para leluhur melalui tabdi' dan takfir: Pembid'ahan dan pengkufuran ubudiyah para kyai NU.
NU pun protes keras, ujar Maksum Machfoedz, untuk melawan dua kolonialisasi itu melalui kegiatan pemikiran, perjuangan dan diplomatik yang dilakukan dengan konsolidasi para kyai.
Alasan konsolidatif itulah, papar Maksum Machfoedz, yang menyebabkan para kyai mendirikan NU pada 31 Januari 1926, untuk melawan dua jenis penjajahan besar itu.
Sukses besar diplomasi global waktu itu, lanjut Maksum Machfoedz, dilakukan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah melalui upaya negosiasi ke Raja Saudi Arabia. Konon sang raja sudah bergerak ingin memberangus seluruh ajaran yang berbeda dengan Wahabi dan akan menghancurkan makam Rasulullah SAW.
Sukses diplomatik paling hebat dalam sejarah Islam modern, pungkas Maksum Machfoedz, telah diukir oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan diterimanya gagasan NU oleh sang raja dan makam Rasulullah SAW pun masih tegak sampai hari ini dan Itu berkat NU.