REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Insiden hilangnya pesawat Malaysia Airlines penerbangan MH370 membutuhkan langkah-langkah keamanan guna mencegah tragedi serupa terulang kembali. "Sangat sedikit informasi soal apa yang terjadi. Terlalu dini untuk berspekulasi," demikian pernyataan Asosiasi Transportasi Udara Internasional, seperti dilansir voanews.com, Selasa (25/4).
Para analis mengatakan perusahaan-perusahaan penerbangan dan pemerintah dapat dan seharusnya membuat perbaikan-perbaikan dalam empat isu utama berikut ini.
Pintu Kokpit Sekunder
Salah satu penjelasan yang mungkin dari berbalik arahnya pesawat Malaysia Airlines adalah bahwa satu atau dua orang menyusup ke kokpit, mengambil alih kontrol atau menekan pilot dan ko-pilot untuk bertindak di bawah ancaman.
Maskapai-maskapai penerbangan telah mencoba untuk mencegah hal seperti itu dengan memperkuat pintu kokpit dan membuat prosedur-prosedur keamanan untuk saat-saat ketika pilot perlu ke kamar mandi atau makan dan minum. Dalam prosedur semacam itu, pramugari berdiri di depan pintu saat terbuka, dan menempatkan kereta dorong sebagai pembatas.
Konsultan keselamatan penerbangan Hans Weber, presiden Tecop International, Inc, yang berbasis di San Diego, mengatakan kemungkinan komando MH370 dilakukan oleh seseorang di luar pilot menunjukkan bahwa pintu yang lebih kuat tidak cukup.
United Airlines adalah satu-satunya maskapai besar AS yang telah memasang semacam pagar sebagai pembatas sekunder setelah peristiwa 9/11. Namun para pilot mengatakan perusahaan mulai mencopotnya tahun lalu.
Teknologi Penerbangan Jarak Jauh
Bagaimana jika salah satu pilot mengambil alih komando MH370, mengubah jalur penerbangan tanpa menginformasikan pusat kontrol lalu lintas udara? Weber mengatakan teknologi kokpit dapat ditingkatkan untuk melaporkan manuver terlarang semacam itu ke personel di darat, dan memungkinkan mereka mengontrol pesawat.
Teknologi untuk mengubah pesawat komersial menjadi kendaraan yang dikendalikan dari jarak jauh yang beroperasi seperti pesawat militer tanpa awak telah dikembangkan selama bertahun-tahun.
Badan Penerbangan Federal AS (FAA) sudah mengizinkan sektor usaha meminta izin menerbangkan pesawat tak berawak untuk "riset dan pengembangan, survei pasar dan pelatihan awak." Namun lembaga ini belum mengizinkan penerbangan komersial tanpa awak, karena hal itu harus mematuhi standar-standar keselamatan yang "sangat tinggi."
Alat Komunikasi yang Dirancang Ulang
Beberapa analis penerbangan mengatakan dimatikannya sistem komunikasi penerbangan pesawat Malaysia secara manual tak lama setelah lepas landas menunjukkan bahwa industri penerbangan juga perlu merancang ulang transponder dan beacon.
Sebuah transponder pesawat adalah alat pengidentifikasi frekuensi radio (RFID) yang menggunakan sumber daya sendiri untuk menyiarkan sinyal radio ke darat, sebagai respon dari sinyal yang dikirim radar. Beacon bergantung pada daya pesawat, namun mengirimkan sinyal radio pada interval reguler, terlepas diminta atau tidak.
Kedua alat tersebut memungkinkan pelacakan gerakan pesawat. Namun pilot memiliki kemampuan untuk mematikannya.
Mark Roberti, pendiri perusahaan media AS RFID Journal, mengatakan beacon awalnya dirancang untuk dimatikan ketika pesawat akan lepas landas karena sinyal-sinyal mereka mengganggu radar yang mengawasi gerakan pesawat di landasan.
"Sekarang bandara-bandara menggunakan sistem berbeda untuk melacak pesawat dari darat, jadi masuk akal untuk membuat beacon atau transponder yang tidak dapat dimatikan," ujar Roberti.
Penggunaan Paspor Elektronik yang Lebih Luas
Richard Aboulafia, konsultan penerbangan pada Teal Group yang juga berbasis di Virginia, mengatakan tidak perlu ada perubahan terhadap rancangan pesawat sebagai respon atas kasus MH370.
"Pengalaman dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa orang-orang jahat dapat menemukan cara mengatasi masalah teknis jika mereka ada di dalam pesawat, jadi yang paling efektif dari segi biaya adalah penggunaan sumber-sumber daya untuk membuat mereka tidak bisa masuk pesawat," ujar Aboulafia.
"Pihak-pihak berwenang perlu meningkatkan intelijen manusia dengan pemeriksaan awak yang lebih baik, pembagian informasi mengenai penumpang yang lebih baik, dan penjagaan yang lebih baik melawan paspor palsu, bahkan jika hal itu bukan masalah dengan pesawat yang hilang," ujarnya.
Banyak negara sudah memperbaiki paspor dalam beberapa tahun terakhir, dengan menyertakan kepingan komputer dan transponder RFID pasif yang menarik energi dari sinyal yang dipancarkan oleh alat pembaca paspor.
"ePassport" semacam itu menggunakan gambar biometrik dari pemilik paspor dan memperlihatkannya ketika dipindai oleh petugas imigrasi, memungkinkan petugas untuk membandingkan gambar tersebut dengan orang yang memberikan dokumen tersebut.
Hal itu mempersulit orang yang ingin melewati pemeriksaan imigrasi dengan paspor palsu atau paspor sah yang gambarnya sudah diganti.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), sebuah badan PBB yang mengawasi perjalanan udara internasional, mengatakan 93 negara anggota telah mengeluarkan paspor elektronik pada 2011, periode dengan data terbaru di laman mereka.
Roberti dari RFID Journal mengatakan negara-negara itu termasuk Amerika Serikat, sebagian besar Uni Eropa, dan banyak negara Asia. Namun ia mengatakan tidak ada negara yang telah menetapkan tenggat untuk semua penumpang yang tiba untuk membawa paspor dengan kepingan RFID.