Ahad 06 Apr 2014 18:32 WIB

Tantangan Berat Hadang Presiden Baru Afghanistan

Rep: Elba Damhuri/ Red: Fernan Rahadi
 Polisi Afghanistan berdiri di sebuah bangunan yang hancur akibat serangan Taliban di Provinsi Farah pada Kamis (4/4).
Foto: Reuters
Polisi Afghanistan berdiri di sebuah bangunan yang hancur akibat serangan Taliban di Provinsi Farah pada Kamis (4/4).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sejumlah persoalan serius bidang keamanan, politik, dan ekonomi siap menyambut presiden baru Afghanistan. Yang terberat, terkait dengan masalah keamanan dan ancaman Taliban untuk terus merongrong pemerintahan baru Afghanistan.

Andrew Hammond, mantan penasihat Pemerintah Inggris, mengatakan presiden baru harus menyiapkan infrastruktur keamanan yang kuat. Afghanistan, kata dia, terancam gangguan keamanan dan perpecahan akibat kuatnya perlawanan Taliban.

Stabilitas keamanan menjadi kata kunci untuk memperbaiki negeri yang porak-poranda oleh perang saudara itu. Perdamaian antarkelompok bertikai harus segera dilakukan.

Ia pun mengusulkan perlunya presiden baru untuk menginisiasi rekonsoliasi dengan Taliban, yang sejak 13 tahun lalu telah kehilangan kekuasaan. "Harus ada kata final dalam proses rekonsiliasi dengan Taliban ini," kata Andrew dalam ulasannya di CNN, Ahad (6/4).

Rekonsiliasi menjadi pekerjaan rumah berat presiden baru untuk dikerjakan. Menurut Andrew, rakyat Afghanistan sudah bosan dengan perang. Kini, mereka ingin hidup dengan damai, melanjutkan hidup untuk merajut masa depan yang lebih baik.

Pakistan, kata Andrew, harus diajak dalam proses rekonsiliasi ini mengingat pengaruhnya yang besar pada Taliban. Pemerintahan baru harus memiliki kemampuan dan niat baik bagi terciptanya perdamaian ini.

Satu masalah lagi, kata Andrew, terkait dengan kondisi ekonomi negara yang rusak parah. Sejak 2001, ekonomi Afghanistan sangat tergantung pada bantuan asing, termasuk utang yang dikompensasi dengan sumber daya alam mereka.

"Masalah ekonomi akan menjadi serius jika pasukan asing ditarik dari Afghanistan," kata Andrew.

Bantuan-bantuan asing akan dipangkas dan perusahaan-perusahaan akan kesulitan beroperasi ketika pasukan asing tidak ada lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement