REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Walau sudah dilakukan di akhir pekan, antusias pemilih Indonesia di Australia tidak juga meningkat dalam memberikan suara di pemilu 2014. Pemilih tidak melebihi 20 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar secara keseluruhan.
Pemungutan suara di Australia untuk pertama kalinya diselenggarakan tidak bersamaan dengan hari pemilihan di Indonesia.
Di Australia dilaksanakan pada Sabtu (5/4) lalu di wilayah negara bagian New South Wales dan Victoria, sementara di negara bagian Western Australia diselenggarakan Ahad (6/4).
Menurut salah seorang anggota PPLN di Victoria yang mencakup Melbourne, Iman Santosa pemilih yang datang hari Sabtu di KJRI berjumlah 2861 orang, sekitar 18 persen dari keseluruhan pemilih berjumlah sekitar 15 ribu orang.
"KIta memang mengharapkan dengan perubahan hari pemilihan yang kita pindahkan di akhir pekan akan menyamai angka 20 persen seperti lima tahun lalu atau lebih tinggi." kata Iman, baru-baru ini.
Angka 20 persen itu merujuk kepada jumlah mereka yang memberikan suara dalam pemilihan tahun 2009.
Selain pemilih yang langsung mendatangi TPS, sekitar 500 orang lainnya mengirim kertas suara mereka lewat pos. "Kita masih menunggu kertas suara lewat pos ini sampai 15 April mendatang." tambah Iman.
Sementara itu di wilayah New South Wales termasuk Sydney, dari daftar pemilih yang berjumlah hampir 22 ribu orang, yang mendatangi langsung TPS adalah 4580 orang, sekitar 19.52 persen.
Sedangkan mereka yang memberikan suara lewat pos sekitar 1200 orang. KJRI Sydney juga membawahi masyarakat Indonesia yang tinggal di negara bagian Queensland dan Australia Selatan.
Melihat gelar akademis dalam menentukan calon
Meskipun dari segi kuantitatif tak banyak yang datang, beberapa pemilih yang memberikan suara tampak memiliki harapan tinggi terkait tugas badan legislatif.
Yudis, yang berusia 19 tahun, dan sedang belajar Bisnis Internasional di Melbourne, tetap datang dan bertekad mencoblos, meskipun Ia mengaku tak sempat melakukan riset soal para calon legislatif dan baru mulai mengamati para caleg menggunakan kertas keterangan yang ditempel di luar TPS.
Caranya menilai para caleg adalah dengan mengamati gelar akademis yang menempel di nama mereka. Selaras dengan itu, Yudis pun menganggap bahwa tugas anggota badan legislative yang penting adalah memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia.
Sedangkan Anna Rifai-Adams, yang telah berpuluh tahun tinggal di Australia, mengharapkan adanya perubahan. Karena menurutnya selama ini Indonesia “seperti tidur”.
“Meskipun saya memantau dari jauh, tapi sewaktu pulang tiap tahun masih begitu-begitu saja. Masyarakat masih mengeluh tentang korupsi,” ucapnya.
Dalam menarik minat para pemilih untuk datang, KJRI di Australia juga menyediakan fasilitas untuk berjualan, hal yang disukai oleh Maria Swanita yang menemani suaminya untuk mencoblos.
Maria tak akan mencoblos hari itu, karena Ia bukan warganegara Indonesia. Kedatangannya di konsulat jendral sebenarnya untuk menemani suaminya, yang warganegara Indonesia, mengikuti pemilu. Toh, Ia malah menikmati suasana hari itu, yang katanya mirip “festival kecil.”
“Saya senang kalian punya banyak makanan di sini. Mungkin kita bisa melakukan ini juga [dalam pemilihan umum Australia],” ucapnya sambil tersenyum.
Memang, hari itu tak hanya tenda-tenda Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berdiri di konsulat jendral. Ada juga berbagai kios makanan, seperti gudeg, masakan padang, bahkan kambing guling, dengan embel-embel “partai kambing guling”, juga kios menawarkan jasa terkait properti.
“Saya sebenarnya lebih suka suasana seperti ini,” aku Maria, “Bagus bahwa ada banyak orang di sini, sementara setahu saya [memilih] tak wajib di Indonesia.”
Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Melbourne, Lucky Kalonta, juga tampak optimis hari itu.
“Lihat saja, udah kayak pasar malam,” candanya mengomentari suasana tengah hari tersebut.
Banyaknya pilihan makanan hari itu memang merupakan salah satu strategi panitia, agar pemilu juga menjadi ajang kumpul-kumpul, sekaligus mempromosikan kuliner Indonesia, cerita Lucky.
PPLN pun tahun ini mencoba mempermudah proses pemungutan suara. “Lebih banyak orang di sekretariat untuk menampung orang yang belum mendaftar. Atau yang kelupaan TPS di mana. Jadi kita ada 8 komputer untuk menampung semua yang daftar,” katanya.