REPUBLIKA.CO.ID, DONETSK -- Sekitar 100 orang demonstran pro-Rusia, menyerbu masuk gedung pemerintah daerah Donetsk di timur Ukraina, pada Ahad (6/4). Mereka mengibarkan bendera Rusia, di gedung pemerintahan pro-Eropa tersebut.
Puluhan demonstran juga menyerbu kantor pelayanan keamanan negara di dekat kota Luhansk.
Insiden mengakibatkan tiga orang terluka, terdiri dari dua pengunjuk rasa dan seorang perwira polisi. Lebih dari 1000 orang juga melakukan aksi protes, di alun-alun kota kelahiran presiden terguling Viktor Yanukovich tersebut.
Saksi mata mengatakan pada Reuters, massa akhirnya membobol gedung administrasi daerah dan menggantung bendera Rusia dari balkon di lantai dua gedung. Setelahnya demonstran bersorak dan meneriakkan kata, "Rusia!".
Juru bicara kepolisian Donetsk Ihor Dyomin mengatakan, sekitar 1000 orang mengambil bagian dalam penyerbuan gedung. Sebagian besar penyerang menurutnya, merupakan pemuda dengan wajah yang ditutupi.
"Sekitar 100 orang sekarang dalam gedung dan membarikade gedung," ujarnya.
Para pengunjuk rasa di dalam gedung menggunakan kursi, meja dan pagar logam untuk membarikade pintu masuk. Saksi Reuters mengatakan, sementara ratusan polisi berjaga.
Televisi Ukraina menunjukkan gambar ratusan orang di luar gedung pelayanan keamanan negara di Luhansk.
Sementara seorang polisi di armor yang terlibat kerusuhan nampak dibawa dengan tandu. Penyiar mengatakan, para pengunjuk rasa Luhansk menginginkan referendum mengenai status wialyah mereka. Mirip dengan yang dilakukan di Crimea, aksi mereka membuka jalan untuk aneksasi wilayah oleh Rusia.
Para pengunjuk rasa juga menuntut pembebasan orang-orang yang ditahan, oleh dinas keamanan dalam beberapa hari terakhir.
"Kami tidak ingin bergabung dengan Uni Eropa, kita tidak ingin bergabung dengan NATO. Kami ingin anak-anak kami hidup dalam damai," kata seorang wanita yang tidak mau menyebutkan namanya pada Channel Five Ukraina di Luhansk.
Sebelumnya, petugas keamanan negara Ukraina mengatakan, Sabtu (5/4) lalu mereka menahan 15 orang di Luhansk. Ke 15 orang yang ditangkap dituduh merencanakan, penggulingan pemerintahan. Petugas juga menyita ratusan senapan, granat dan bom bensin.
Demonstran pro-Rusia dalam beberapa pekan terakhir, telah menggelar aksi unjuk rasa di timur Ukraina. Mereka melakukannya tak jauh dari perbatasan Rusia di mana Moskow telah menempatkan puluhan ribu pasukannya.
BBC News melaporkan, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, Moskow memiliki hak untuk melindungi penduduk berbahasa Rusia di wilayah tersebut. Namun pemimpin Ukraina menyangkal seruan Rusia, bahwa penduduk etnis Rusia di negaranya berada di bawah ancaman. Ukraina juga menolak intervensi apapun di negara mereka.
Presiden Ukraina yang saat ini menjabat, menyerukan pertemuan keamanan darurat, untuk menanggapi hal ini. Presiden Olexander Turchynov membatalkan kunjungannya ke Lithuania, dan segera mengadakan pertemuan dengan sejumlah kepala keamanan negara. Ini dilakukan untuk menanggapi kerusuhan yang terjadi.
Menteri Dalam Negeri Ukraina Arsen Avakov menuduh Presiden Putin dan Yanukovich, meminta dan menciptakan gelombang separatis lain di timur Ukraina.
Dalam pesan di akun Facebooknya, Avakov mengatakan, situasi harus dikendalikan tanpa pertumpahan darah. Ketegangan terus terjadi antara Ukraina dan Rusia. Ribuan tentara Rusia mengatakan, telah mengerahkan pasukan di sepanjang perbatasan. Pemerintah baru di Ukraina telah menghadapi oposisi di daerah berbahasa Rusia, di Ukraina.
Sementara partai Svoboda dari sayap kanan Ukraina melaporkan, tubuh salah satu aktivisnya ditemukan pada Sabtu.
Mayat yang dibuang ke hutan itu, ditemukan dengan tanda-tanda penyiksaan sehari setelah penculikannya di desar Vygrayev. Svoboda merupakan salah satu partai yang turut mendukung penggulingan Yanukovich.