REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Rusia Vladimir Putin dituduh telah menciptakan nasionalisme anti-Barat kepada warga Rusia menyusul krisis Ukraina dan pencaplokan Crimea serta sebelumnya memerdekakan Osetia Selatan dan Abkhazia dari Georgia.
Hal itu diungkapkan penulis kolom Borys Kowalsky dalam tulisannya 'We must keep watching Putin carefully' di The Barrie Examiner, Kamis (10/4).
"Akhir-akhir ini Putin bertindak sebagai raja filsuf, yang menyampaikan pidato dengan nada nasionalisme ultra-konservatif, anti-Barat. Ini merupakan cara berpikir spiritualitas Kristen Ortodoks Rusia mengenai pandangan mereka sebagai kefasikan Barat, materialisme, egoisme dan dekadensi," tulisnya.
Dia tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan Barat, apakah itu berarti Gereja Barat mengingat Gereja Rusia adalah Gereja Timur atau apakah maksudnya adalah Western Hemisphere yang berarti Barat secara politik termasuk Amerika Serikat dan sekutunya.
Namun dia menambahkan, Putin dinilai mampu memainkan kemampuan retoriknya untuk membangkitkan semangat warga Rusia.
"Tapi tindakan Putin itu belum sesuai dengan bagian retoriknya. Tujuan utamanya adalah menggairahkan popularitas domestiknya untuk mendukung imperialisme besar Rusia, sebuah kesukaan warga, seperti kebencian, arogansi, chauvinisme dan kebanggaan palsu. Juga promosi undang-undang anti-gay, beberapa mempertahankan yang ada, itu tidak lebih hanya taktik politik. Sikap ini berakar jauh dari prasangka warga Rusia dan saat yang sama itu memperkuat aliansinya dengan Gereja Ortodoks," katanya.
Di atas semua itu, katanya, Putin hanya melakukan sedikit hal untuk memuliakan warganya dan dia lebih banyak menurunkan derajat warga Rusia di mata dunia.