Ahad 13 Apr 2014 18:21 WIB

Milisi Kristen Hadang Pengungsi Muslim Afrika Tengah

Rep: Gita Amanda/ Red: Julkifli Marbun
Pasukan internasional asal Kongo sedang berjaga-jaga di jalanan Bangui, Republika Afrika Tengah, yang sedang berkecamuk.
Foto: EPA/Legnan Koula
Pasukan internasional asal Kongo sedang berjaga-jaga di jalanan Bangui, Republika Afrika Tengah, yang sedang berkecamuk.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Badan Pengungsi PBB UNHCR, Jumat (11/4) menyatakan sangat prihatin dengan laporan yang mengatakan milisi anti-Balaka memblokir dan menyerang warga sipil Muslim yang mengungsi dari Republik Afrika Tengah (RAT).

Pasukan milisi Kristen dilaporkan memblokir jalan utama yang digunakan warga menuju Kamerun.

Sejumlah pengungsi menderita luka parah akibat tusukan pisau dan tembakan senjata tajam. Banyak pula dari mereka yang mengalami kekurangan gizi, akibat harus berjalan berbulan-bulan. Mereka memutar arah untuk memasuki Kamerun, melalui daerah-daerah terpencil.

Juru bicara UNHCR Melissa Fleming mengatakan, para pengungsi yang baru tiba mengatakan pada rekan-rekan di UNHCR bahwa milisi telah memblokir jalan utama ke Kamerun. Milisi Kristen membuat mereka terpaksa melalui semak-semak selama dua hingga tiga bulan, untuk mencapai perbatasan.

 

"Para pengungsi juga mengatakan, anti-Balaka menyerang mereka selama dalam pelarian," ungkap Fleming.

UNHCR  juga menunjukkan, video yang menggambarkan para pengungsi tengah menyeberangi sungai ke wilayah Gbiti, dekat Kentzou, Kamerun, sepekan lalu. Dari video nampak sejumlah pengungsi mengalami luka parah di bagian muka, serta bengkak di kaki mereka.

Petugas medis UNHCR Paul Spiegel yang mendokumentasikan video tersebut mengatakan, banyak dari pengungsi harus berjalan selama tiga bulan. Kebanyakan mereka berasal dari Bangui menurut Spiegel.

"Mereka bersembunyi di malam hari, makan daun dan sangat jarang minum air. Ini adalah situasi yang sangat mengejutkan," ujarnya.

Meski dengan berbagai rintangan yang mereka hadapi, hampir 10 ribu jiwa kerap berbondong keluar dari Afrika Tengah ke timur Kamerun. Kebanyakan dari mereka adalah wanita, anak-anak dan orang tua. Sejak awal tahun UNHCR mencatat, hampir 70 ribu pengungsi melarikan diri ke Kamerun.

Dari laporan situs resmi UNHCR, Fleming mengatakan banyak dari pengungsi meminta staf UNHCR yang berada di Afrika Tengah untuk membentuk kelompok pertahanan diri. Mereka juga meminta staf melindungi komunitas dan menjaga ternak mereka.

"UNHCR menyerukan pada anti-Balaka untuk menghentikan ini, demi mencegah warga sipil melarikan diri ke negara-negara tetangga untuk keselamatan mereka. Kami juga menyerukan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk menghentikan kekerasan," kata Fleming pada wartawan.

Bekerja sama dengan sejumlah pihak, UNHCR telah meningkatkan jumlah klinik keliling di sekitar titik-titik masuk pengungsi.

Ini dilakukan sebagai upaya membantu pusat kesehatan setempat, yang kewalahan menangani kondisi kesehatan pengungsi.

UNHCR  juga merelokasi sekitar 20 ribu pengungsi yang tinggal di wilayah terbuka di perbatasan Garoua Bouai dan Kenzou. Mereka kini menetap di tempat pengungsian yang didirikan di Lolo Mborguene, Gado, dan Borgop di daerah Timur serta wilayah Adamwa.

Sejak tahun ini, Kamerun telah menerima pengungsi Afrika Tengah hingga 69.389 jiwa. Ini di luar dari 92 ribu jiwa yang mengungsi pada gelombang sebelumnya sejak 2004. Kala itu mereka melarikan diri dari kelompok pemberontak dan bandit di utara Afrika Tengah.

Sekitar 1,6 juta orang membutuhkan bantuan pangan di Afrika Tengah. Program Pangan Dunia (WFP) PBB mengatakan, mereka hanya mampu memberi bantuan pada sekitar 170 ribu jiwa di bulan Maret lalu. Ini dikarenakan masalah keamanan di negara tersebut yang menghambat bantuan.

Kekerasan antara Kristen dan Muslim di Afrika Tengah kian mengkhawatirkan. PBB mengatakan, konflik tersebut telah mengancam ke dalam peristiwa genosida.

Konflik bermula kala pemberontak Muslim Seleka merebut kekuasaan tahun lalu. Hal itu memicu gelombang serangan balasan dari milisi Kristen anti-Balaka. Konflik menyebabkan kematian ribuan orang, dan membuat ratusan ribu warga sipil mengungsi.

Saling bunuh terus terjadi, meski dengan kehadiran 2.000 pasukan penjaga perdamaian Prancis dan 6.000 dari Afrika. Juru bicara Angkatan Bersenjata Prancis mengatakan pada wartawan Jumat lalu, situasi di barat Afrika Tengah "stabil tetapi rawan".

"Kami memerlukan bantuan penduduk Afrika Tengah karena mereka berada di ambang kekacauan dan seperti terjerumus ke neraka," kata  wakil direktur UNHCR biro Afrika Liz Ahua.

Sementara itu, pada Kamis (10/4), Dewan Keamanan PBB menyetujui pembentukan pasukan perdamaian PBB beranggotakan 12.000 tentara untuk ditempatkan di Afrika Tengah. Penempatan pasukan dalam usaha mengakhiri aksi kekerasan di negara tersebut.

Pasukan yang dikenal dengan nama MINUSCA akan memiliki sekitar 10.000 tentara, 1.800 polisi dan 20 polisi militer.

Pasukan akan mulai bertugas pada 15 September mendatang."Kami menginginkan missi, MINUSCA dikirim secepat mungkin. Dan harapan kami, harapan kami, adalah mereka akan dapat menahan 'air pasang'," kata Ahua

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement