REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Masalah dampak pencalonan Joko Widodo terhadap pencapaian suara PDIP dalam pemilu legislatif 2014, menjadi topik kuliah terbuka di Universitas Melbourne, Senin (14/4) malam.
Dalam kuliah bertajuk, The Indonesian Election; What Really Happened, apa yang disebut sebagai Jokowi Effect dibahas dengan rinci oleh Dr Dirk Tomsa, pengajar pada Universitas La Trobe.
Dalam uraiannya, Tomsa menjelaskan mengapa Jokowi Effect dianggap tidak berhasil memberikan dampak raihan suara yang diharapkan sebelumnya oleh PDIP.
Sudah beredar luas bahwa PDIP disebut berharap akan mendapatkan suara lebih dari 27 persen secara nasional karena pencalonan Jokowi, namun dari hasil hitung cepat yang sudah muncul sejauh ini di Indonesia, PDIP hanya meraih suara antara 18-19 persen.
Menurut Tomsa, beberapa faktor dilihatnya sebagai penentu berkurangnya target raihan suara tersebut.
"Salah satunya adalah pengumuman pencalonan yang begitu dekat menjelang pemilihan, sistem pemilihan, perilaku pemilih dan juga faktor media massa di Indonesia," kata Tomsa.
"Penentuan pencalonan Jokowi hanya beberapa hari menjelang pemungutan suara membuat PDiP tidak bisa maksimal menggunakan kepopuleran Jokowi. Seharusnya pengumuman ini dilakukan jauh sebelumnya atau tidak diumumkan sama sekali," kata Tomsa.
Tetapi faktor yang lebih besar menurut Tomsa adalah sistem pemilihan di Indonesia dan perilaku pemilih. Dalam pemilu, warga memilih nama calon selain partai dimana calon tersebut berasal.
"Para calon ini di seluruh Indonesia memiliki tim sukses sendiri. Mereka sudah lama bergerak sendiri jauh sebelum Jokowi dicalonkan. Para calon ini menjalankan strategi mereka sendiri, dan tidak selalu mendukung kebijakan partai atau calon presiden," kata Tomsa, baru-baru ini.
Pendapat ini juga didukung oleh pembicara Dr Dave McRae, peneliti senior Universitas Melbourne, yang mengikuti dari dekat proses pemilihan di Indonesia dengan meneliti perilaku pemilih di Surabaya dan Sidoarjo di Jawa Timur.
"Kebanyakan kampanye di daerah tidaklah kampanye mempromosikan partai mereka ataupun calon presiden. Kampanye banyak dilakukan lewat pertemuan dengan masyarakat, dan isu yang disampaikan sangat lokal dan kadang yang disampaikan bertentangan dengan kebijakan partai," kata Dave McRae.
McRae mencontohkan bahwa dalam salah satu kampanye di Surabaya, seorang caleg dari PDIP menentang penutupan lokalisasi Dolly walau hal itu merupakan kebijakan dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang berasal dari partai yang sama.
Walau hasil penghitungan suara sementara lebih rendah dari perkiraan PDIP dan berbagai pihak lainnya, pembicara dalam kuliah umum di Melbourne ini masih sepakat bahwa Jokowi masih merupakan favorit besar untuk memenangkan pemilihan presiden bulan Juli mendatang.
Salah seorang peserta, Nicolas Reece dari Jurusan Ilmu Politik dan Sosial Universitas Melbourne mengatakan bahwa di sisi lain, Jokowi Effect tetap bisa diihat karena dalam pemilu 2014 suara PDIP naik 5 persen dibanding pemilu sebelumnya.
"Ini perolehan yang cukup signifikan kalau melihat bahwa dalam pemilu ini ada 12 partai yang bertarung," kata Reece.
Pembicara lain dalam kuliah tersebut adalah Prof Thomas Reuter dari Universitas Melbourne dan Dr Vannessa Hearman dari Universitas Sydney.