Rabu 16 Apr 2014 22:18 WIB

Kolaborasi Seniman Indonesia-Australia Tampil di Melbourne

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Kombinasi tembang Jawa yang lembut dan musik rock yang menghentak. Inilah The Lepidopters: A Space Opera, pertunjukan kolaborasi seniman Indonesia dan Australia, yang tampil di Melbourne, 13 April 2014.

Punkasila dan Rachel tampil di salah satu panggung The Lepidopters. Foto: Dina Indrasafitri
Bayangkan suara merdu bernyanyi gaya ‘nembang’ Jawa diselingi teriakan dan hentakan musik rock. Kombinasi ini disambut lagi oleh koor khidmat bergaya barat, gamelan yang bermain sendiri, dan jalan cerita fiksi ilmiah tentang serbuan pasukan ngengat ke bumi.
Dari segi visual, pertunjukan ini tak kalah unik.
Sebanyak empat gugus ditampilkan. Yang pertama, panggung yang ditempati band rock Punkasila dari Indonesia, penyanyi Rachel Saraswati, dan pianis Australia ternama Michael Kieran Harvey.
Yang kedua, Sedulur Gamelan, yaitu gamelan otomatis yang dibuat oleh kumpulan seniman Slave Pianos.Ketiga, area kur dan piano yang ditampilkan oleh Astral Choir.
Kemudian, yang keempat, balkon di atas kur tempat narator Richard Piper memandu penonton melalui jalan cerita fiksi ilmiah, dibantu layar besar yang menampilkan animasi dua dimensi yang terkadang jenaka, terkadang menakutkan, dan terkadang seksual.
Sedulur gamelan, gamelan otomatis yang mengandung 56 instrumen gamelan. Foto: Dina Indrasafitri
Di balik jalan cerita dan cara penyampaian yang tak lazim, tersimpan pula kisah unik di balik layar tentang The Lepidopters.
Alkisah, Danius Kesminas, seniman Australia yang terlibat dalam pembentukan Punkasila di Yogyakarta sekitar delapan tahun lalu, bertemu dengan penulis Amerika Mark von Schlegell dalam sebuah konferensi fiksi ilmiah.
Kesminas meminta agar von Schlegell menulis cerita yang penggunaannya nantinya bisa melibatkan Punkasila. “Dia pikir, ide itu gila, tapi toh Ia lakukan juga,” cerita Kesminas.
Kemudian, naskah dalam bahasa Inggris tersebut dinterpretasikan oleh Erwan Hersisusanto, alias Iwang, pemain bas Punkasila, dalam bentuk komik.
Padahal, Iwang mengaku tak begitu paham bahasa Inggris, tapi Ia tertarik karena menurut pemahamannya cerita von Schlegell itu “absurd”.
“Saya berusaha mengerti tapi dibantu teman. Cara mengalihkan…bingung saya tapi saya sikat aja,” cerita Iwang.
Tak Ia sangka, hasil interpretasinya disukai oleh von Schlegell, yang kemudian menulis bab dua dan tiga. Kedua bab itu pun diceritakan kembali oleh Iwang dalam bentuk komik.
Kemudian, lahirlah versi Space Opera, alias opera luar angkasa, berdurasi dua jam, yang versi-versi sebelumnya pernah dimainkan di Hobart, Tasmania, Januari lalu, dan Yogyakarta, Maret lalu.
“Edan, gila, asik,” komentar Iwang ketika ditanya pendapatnya tentang penyampaian cerita von Schlegell dalam bentuk opera luar angkasa.
Duet gitar dan piano/synth antara Rudy 'Atjeh' Dharmawan dan Michael Kieran Harvey. Foto: Dina Indrasafitri
Menurut cerita para seniman yang tampil, ada perbedaan cukup besar antara pertunjukkan di Yogyakarta dan Melbourne. Di Yogyakarta, pertunjukkan tak melibatkan koor atau gamelan otomatis, melainkan pemain-pemain gamelan perempuan.
Namun, beberapa seniman asal Australia tetap ditampilkan di Yogyakarta, dan mereka mengaku amat senang dengan pengalaman tersebut.
“Anggota Punkasila seniman yang sangat ahli, jadi saya langsung menghormati mereka dari awal. Begitu pula sang penyanyi Rachel. Mereka teman yang baik, selalu ceria dan sabar…” cerita pemain piano Michael Kieran Harvey.
“Saya agak kaget melihat realita Indonesia modern. Sejujurnya, saya sulit menerima kontras antara yang kaya dan miskin…Namun, saya kagum melihat keceriaan orang-orang di tengah kehancuran akibat letusan gunung berapi.”
Sedangkan Aviva, pemain clarinet Astral Choir mengaku bahwa meskipun Ia agak kesulitan menyesuaikan nada dengan berbagai instrumen seperti gamelan dan gitar listrik, Ia tetap merasa santai di antara orang-orang Indonesia.
“Saya akan mencari cara untuk kembali ke Indonesia…saya melihat bahwa musisi dan seniman di sana luar biasa dan saya ingin bekerjasama lagi dengan mereka,” ucapnya.
CD dan kaus Punkasila. Foto: Dina Indrasafitri.
Seperti saat Iwang menginterpretasikan cerita von Schlegell, kendala bahasa kadang muncul. Namun, lagi-lagi hasilnya cukup memuaskan, setidaknya menurut mereka yang terlibat.
Menurut Rachel , sang penyanyi yang tampil sepanggung dengan Punkasila, yang penting adalah “chemistry”. Bahkan, baginya itu lebih penting dibanding bakat individu.
“Yang pertama di [Festival] MonaFoma. Lebih ringan. Benar-benar Punkasila, slave piano, Michael Harvey, saya. Kemudian diusing ke Jogja, tambahannya teman perempuan main gamelan. Tambah takut lagi, tapi rupanya berhasil,” ceriranya,
“Kemudian ke Melbourne main dengan koor plus yang lain. itu overwhelmed banget. Takut. tapi rupanya, jebol berhasil. “
Begitu pula kata Iwang.
“Padahal kita beda bahasa, kita tetap nyambung, Tetap lancar…rasa, chemistry” katanya, belum lama ini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement