Rabu 16 Apr 2014 17:07 WIB

Kepala Intelijen Saudi Diganti

 Pangeran Bandar bin Sultan ditunjuk sebagai kepala intelijen Arab Saudi pada Juli 2012
Foto: Alarabiya
Pangeran Bandar bin Sultan ditunjuk sebagai kepala intelijen Arab Saudi pada Juli 2012

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi mengganti kepala intelijennya untuk konflik Suriah, Pangeran Bandar bin Sultan. Penggantian dilakukan atas permintaan pribadi dari Pangeran Bandar.

Kantor berita resmi SPA mengumumkan pada Selasa (15/4), sebuah dekrit kerjaan mengeluarkan keputusan yang membebastugaskan Pangeran Bandar dari jabatannya sebagai kepala intelijen Saudi.

Kini jabatan tersebut digantikan oleh wakilnya, Yousef al-Idrissi.

"Pangeran Bandar dibebastugaskan dari jabatannya atas permintaan sendiri dan Youssef al- Idrissi diminta untuk melaksanakan tugas-tugas kepala intelijen umum," ungkap kantor berita negara SPA, mengutip sebuah dekrit kerajaan.

Dekrit yang dikeluarkan kerajaan tak menjelaskan lebih lanjut, apakah Bandar akan terus memegang jabatan lain sebagai kepala Dewan Keamanan Nasional.

Bandar merupakan mantan duta besar Saudi untuk Amerika Serikat. Secara luas ia dianggap sebagai salah satu orang paling berpengaruh di Timur Tengah.

Dilansir dari Ahram Online, selama ini Bandar ditunjuk khusus oleh kerajaan untuk menangani konflik Suriah. Ia bertugas membantu pemberontak Suriah menurunkan Assad.

Namun veteran intelijen itu, harus ke luar negeri selama beberapa bulan atas alasan kesehatan. Bandar baru-baru ini menghabiskan waktu di AS dan Maroko untuk perawatan medis.

Sejumlah diplomat mengatakan, ia telah mengesampingkan upaya Saudi mendukung pemberontak melawan rezim Bashar al-Assad. Diplomat mengatakan, berkas pengunduran diri Bandar telah ditransfer ke Menteri Dalam Negeri Saudi Pangeran Mohammed bin Nayef.

Selama ini penanganan Bandar atas isu Suriah mendorong kritikan dari AS. Tapi Bandar sendiri menegur AS, untuk keputusannya tak melawan intervensi militer di Suriah.

Ia juga mengkritik AS karena mencegah sekutunya, menyediakan senjata untuk pemberontak.Dukungan Saudi untuk pemberontak, termasuk pasukan senjata, pelatihan dan pembiayaan.

Namun upaya tersebut terhambat oleh perdebatan antara kelompok-kelompok oposisi, dan kesulitan mengimbangi ideologi militan yang dapat membahayakan Riyadh.

Sementara media yang dijalankan rezim Suriah dan sekutunya Lebanon, telah berulang kali mengkritik Bandar. Mereka menuduh Bandar mendukung para pejuang Islam Sunni di Suriah.

Di Suriah, pasukan Assad berupaya merebut kembali sejumlah wilayah di Homs pada Selasa (15/4). Ini dilakukan di tengah melemahnya para pejuang, akibat pemotongan jalur pasukan dan sejumlah pertempuran sengit di pusat kota selama berbulan-bulan.

Pasukan yang setia pada Assad menggunakan mesin senjata api berat, lalu menembaki pemberontak dari tank dan pesawat yang bersembunyi di Homs.

Aktivis Abu Bilal mengatakan, serangan terjadi selama lima hari, namun Selasa lalu merupakan serangan terberat."Mereka mencoba menyerang kami dari serangkaian titik sumbu," katanya melalui Skype, sementara suara penembakan berat terdengar di latar belakang.

Pemberontak membalas dengan menembakkan mortir ke wilayah yang dikuasai pasukan pemerintah. Serangan menewaskan seorang pemain tim nasional Suriah, Tarek Ghrair (15 tahun).

Abu Bilal mengatakan, enam pemberontak tewas. Pertempuran menurutnya terjadi saat pemberontak dalam kondisi lemah, akibat blokade makanan dan obat-obatan. Sekitar 1.000 orang menurutnya telah menyerahkan diri."Jiwa mereka melemah, mereka ingin rokok dan air," katanya.

Serangan terhadap Homs terjadi sehari setelah pejuang pro-pemerintah, merebut sejumlah benteng di pedesaan utara Damaskus. Selasa lalu, daerh Assal al-Ward juga berhasil dikuasai pasukan pemerintah.

Di Arab Saudi, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saud Al-Faisal menyerukan masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas.

Al-Faisal menduga pemerintah Suriah menggunakan gas beracun pekan lalu, di desa Kafr Zeita di Provinsi Hama.

Aktivis mengatakan, pesawat pemerintah Suriah menjatuhkan bom barel yang berisi gas klorin di desa tersebut pada Jumat (11/4) dan Sabtu (12/4).

Peristiwa tersebut menewaskan dua orang dan melukai puluhan lainnya. Para pejabat AS mengatakan, klaim gas beracun sejauh ini belum terbukti kebenarannya. Namun Washington menyatakan, berusaha melakukan penyelidikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement