Senin 21 Apr 2014 15:58 WIB

Makna Kunjungan Obama ke Asia

Barack Obama
Foto: AP/Manuel Balce Ceneta
Barack Obama

REPUBLIKA.CO.ID,  WASHINGTON -- Lima tahun setelah mengubah prioritas politik luar negeri Amerika Serikat menuju Asia,  Presiden Barack Obama akan menghadapi pertanyaan mengenai komitmen terhadap  kebijakan--yang dikenal dengan nama "rebalancing" tersebut--saat melakukan kunjungan ke  sejumlah negara Asia pada pekan ini.

Di Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Filipina, Obama akan menyatakan bahwa prioritas pemerintah Amerika Serikat ke Asia tidak akan berubah oleh persoalan Suriah dan ketegangan dengan Rusia. "Rebalancing" sendiri adalah kebijakan untuk menarik pasukan militer dan sumber daya ekonomi politik Amerika Serikat yang saat ini berada di Timur Tengah untuk kemudian ditempatkan di Asia.

Dalam kunjungan ke Asia ini, Obama akan mencoba memperkuat aliansi dengan sejumlah negara yang berharap mendapat perlindungan dari Amerika Serikat terhadap kekuatan Cina. Namun di sisi lain dia juga harus berhati-hati untuk tidak memicu perseteruan dengan Beijing.

Sejauh ini, sejumlah pakar menilai kebijakan "rebalancing" lebih banyak berada di tataran retorika dibanding tindakan nyata. "Gedung Putih sampai saat ini tidak berhasil menerjemahkan konsep 'penyeimbangan kembali' itu ke tingkat operasional yang menyeluruh," kata Kenneth Lieberthal ahli kebijakan  Asia pada masa Presiden Bill Clinton.

"Negara-negara yang dikunjungi akan meminta bukti komitmen dan akan menilai seberapa jauh keahlian taktis Obama dalam mencapai tujuan penyeimbangan kembali itu," kata dia.

Sampai sejauh ini, kebijakan "rebalancing" yang bisa diukur adalah penempatan pasukan berkekuatan 2.500 personil di Australia, rencana pengiriman dua kapal "destroyer" ke Jepang, dan penempatan sejumlah kapal perang di Singapura.

Oh Ei Sun, pakar hubungan internasional dari Nanyang Technological University di Singapura, mengatakan bahwa Amerika Serikat harus segera mendefinisikan dengan jelas konsep "rebalancing", terutama dalam konteks eskalasi ketegangan di Asia Timur.

"Apakah penyeimbangan kembali ini hanya mencakup persoalan keamanan dan militer--terutama dalam konteks semakin kuatnya Tiongkok--atau bermakna lebih luas--mencakup dimensi ekonomi?" kata Oh Ei Sun.

Pengamat dari Singapore Management University, Bridget Welsh, juga meragukan komitmen Amerika Serikat untuk melakukan janjinya sendiri. Dia menyatakan bahwa ketertarikan Menteri Luar Negeri John Kerry terhadap Asia tidak sebesar pendahulunya Hillary Clinton.

Menurut Welsh, Kerry lebih sibuk memediasi perundingan damai Israel-Palestina dan berkonfrontasi dengan Rusia. Gedung Putih sendiri membantah tuduhan bahwa komitmennya di Asia telah hilang.

"Kami akan terus menghormasti kewajiban kami terhadap negara sahabat di Asia Pasifik dengan sukarela dan definitif," kata Penasihat Keamanan Nasional Susan Rice.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement