Rabu 23 Apr 2014 13:15 WIB

Operasi Militer Ukraina Kembali Digencarkan

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Julkifli Marbun
Milisi Ukraina pro-Rusia (ilustrasi)
Foto: afp
Milisi Ukraina pro-Rusia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Menyusul tewasnya seorang politisi lokal Ukraina, pemerintah Kiev kini kembali melancarkan operasi militer menghadapi separatis pendukung Rusia. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Presiden Ukraina Oleksandr Turchinov pada Selasa.

Turchinov mengatakan dua aksi penyiksaan secara brutal terjadi di dekat Slaviansk, kota yang gagal direbut kembali oleh pasukan militer Kiev. Salah satu dari korban tewas itu adalah Volodymyr Rybak, anggota partai Turchinov, yakni partai Batkivshchyna. Sebelum ditemukan tewas, Rybak telah diculik terlebih dahulu oleh para teroris.

"Tindakan kriminal ini dilakukan dengan dukungan penuh dari Rusia. Saya meminta aparat keamanan untuk melakukan operasi anti-teroris guna melindungi warga sipil Ukraina di Ukraina timur dari aksi para teroris," katanya.

Pihak kepolisian pun menyebutkan korban yang tewas dengan luka penuh siksaan itu ditemukan di sungai dan dikenal sebagai Rybak, anggota dewan lokal di kota Horlivka, dekat kota Donetsk. Untuk identifikasi formal perlu upaya identifikasi lebih lanjut," jelasnya.

Partai Batkivshchyna dipimpin oleh Yulia Tymoshenko, mantan perdana menteri yang mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 25 Mei mendatang. Sebelumnya, operasi militer anti-teroris yang telah digencarkan gagal merebut kembali kota yang telah diduduki oleh para separatis.

Operasi militer ini sebelumnya sempat dihentikan sejak Rusia, Ukraina, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sepakat untuk mengakhiri krisis. Selain itu, Ukraina juga dinilai kekurangan sumber daya pasukan militer untuk menghadapi para separatis.

Sayangnya, kesepakatan itu pun terhenti setelah terjadinya insiden penembakan. Washington dan Moscow saling menyalahkan dan meminta masing-masing pihak untuk mematuhi kesepakatan. Termasuk kesepakatan bahwa para pemberontak harus menyerahkan senjatanya dan meninggalkan gedung pemerintahan yang telah diduduki.

Sementara itu, Amerika Serikat mengancam akan menjatuhkan sanksi yang lebih berat kepada Rusia. Menteri Luar Negeri AS John Kerry, menyebutkan ancaman sanksi itu akan dijatuhkan apabila Rusia tidak mengurangi ketegangan di Ukraina.

Dalam sebuah pembicaraan melalui telepon dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Kerry menyatakan keprihatinannya terhadap langkah Rusia yang dinilai kurang positif. Sebaliknya, Rusia menyalahkan pemimpin Kiev atas insiden yang merusak kesepakatan Jenewa.

Peringatan terhadap Rusia ini disampaikan setelah wakil presiden AS Joe Biden bertemu dengan para pemimpin Ukraina di Kiev dan meminta Rusia untuk mulai bertindak dan berhenti berbicara. Selain itu, Biden juga meminta Moscow untuk menarik kembali pasukannya di perbatasan Ukraina serta meminta para separatis untuk melucuti senjatanya.

"Kami telah sering mendengar pernyataan dari pejabat Rusia beberapa akhir ini. Tetapi sekarang saatnya bagi Rusia untuk mulai bertindak dan berhenti berbicara," katanya dalam konferensi pers. Biden pun menilai waktu yang dimiliki Rusia kini tak banyak untuk membuat kemajuan.

Pencaplokan wilayah Crimea oleh Rusia serta adanya para pemberontak di Ukraina timur telah memperburuk hubungan antara negara Barat dan Rusia sejak perang dingin. Dalam perkembangan lainnya, AS dan NATO telah menegaskan mereka tidak akan mengintervensi militer di Ukraina, yang tak bergabung menjadi anggota NATO. 

Meskipun begitu, Pentagon menyebutkan telah mengirimkan 600 pasukan tentaranya ke Polandia dan negara-negara Baltik untuk latihan militer. Langkah ini diambil untuk meyakinkan sekutu-sekutu NATO atas komitmen AS di tengah-tengah krisis Ukraina.

Selama ini, Moscow berulang kali membantah keterlibatannya dalam aksi yang dilakukan oleh para militan di Ukraina timur. Peringatan sanksi yang akan dijatuhkan kepada Rusia pun diremehkan oleh Rusia. Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev menyatakan negaranya dapat menghadapi sanksi-sanksi yang dijatuhkan.

"Kami tidak akan menyerah dalam bekerja sama dengan perusahaan asing, termasuk perusahaan Barat. Namun, kami siap menghadapi langkah permusuhan ini," katanya. "Saya yakin kami dapat meminimalisasi efeknya. Kami tidak akan membiarkan warga kami menjadi tawanan permainan politik," tambahnya.

Sejauh ini, AS dan UE telah menjatuhkan sanksi larangan perjalanan dan pembekuan aset kepada sejumlah pejabat Rusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement