Kamis 24 Apr 2014 14:01 WIB

Konflik Belum Usai, Bantuan Darurat Ditingkatkan di Sudan Selatan

Peta wilayah Sudan Selatan
Foto: IST
Peta wilayah Sudan Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Organisasi Kemanusiaan telah meningkatkan bantuan darurat buat masyarakat yang terpengaruh oleh kerusuhan belum lama ini di Sudan Selatan, kata seorang juru bicara PBB, Rabu (23/4).

Kantor bagi Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan berbagai badan PBB dan mitra menyediakan bantuan, termasuk pasokan makanan dan medis, buat puluhan ribu orang yang berlindung di pangkalan pasukan pemelihara perdamaian PBB, kata Juru Bicara PBB Stephane Dujarric kepada wartawan dalam taklimat harian.

Beberapa sumber di OCHA juga mengatakan kondisi air dan kebersihan di pangkalan itu tetap kritis; orang menerima antara satu dan tiga liter air per orang setiap hari. Lembaga bantuan berusaha meningkatkan jumlah air bersih di daerah tersebut.

Sejak pekan lalu, ketika pasukan oposisi merebut Bentiu, Ibu Kota Negara Bagian Unity, kerusuhan baru telah melanda kota kecil di bagian utara dan tengah negeri itu. Bentrokan dan serangan balasan telah memaksa ribuan orang mencari perlindungan di pangkalan Misi PBB di Sudan Selatan (UNMISS).

Organisasi kemanusiaan juga sangat prihatin mengenai keselamatan hampir 5.000 orang yang berlindung di pangkalan pasukan pemelihara perdamaian di Bor, Negara Bagian Jonglei, tempat keadaan tetap tegang, kata Dujarric, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis siang.

Menurut OCHA, satu juta orang telah meninggalkan tempat tinggal mereka dalam 100 hari sejak pertempuran pertama kali meletus di Juba pada 15 Desember tahun lalu, saat pertikaian politik antara Presiden Salva Kiir dan Riek Machar, mantan wakil presidennya.

Seperempat orang itu telah menyelamatkan diri ke negara tetangga. Banyak keluarga telah kembali ke kamp pengungsi di Kenya dan Uganda, tempat yang sama dengan tempat mereka mengungsi selama perang saudara beberapa dasawarsa di negeri tersebut, yang berakhir pada 2005.

Bahkan sebelum konflik meletus pada pertengahan Desember 2013, Sudan Selatan memiliki indikator kemanusiaan paling buruk di dunia. Negeri itu tetap berada di tempat paling bawah dalam kasus kematian ibu dan anak dan lebih separuh penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement