Kamis 24 Apr 2014 23:05 WIB

DK PBB Bakal Kenai Sanksi Sudan Selatan

Dewan Keamanan PBB
Foto: ENCYCLOPEDIA BRITANNICA BLOG
Dewan Keamanan PBB

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Anggota Dewan Keamanan PBB mempertimbangkan sanksi bagi pihak-pihak bertikai di Sudan Selatan, setelah komandan pasukan penjaga perdamaian PBB Herve Ladsous meminta dijatuhkannya "konsekuensi serius" untuk memaksa diakhirinya kekerasan.

Ladsous dan Asisten Sekretaris Jendral PBB untuk hak asasi manusia Ivan Simonovic memberikan informasi terkini kepada 15 anggota DK PBB mengenai serangan terhadap warga sipil, termasuk pembantaian etnis di kota kaya minyak Bentiu serta pembunuhan puluhan orang yang mengungsi di dalam markas PBB di Bor.

"Tanpa konsekuensi serius terhadap pihak-pihak bertikai untuk menghentikan kekerasan dan terlibat dalam pembicaraan damai, korban tak bersalah dari warga sipil akan terus meningkat," kata Ladsous, Rabu setelah pertemuan tertutup DK PBB.

"PBB melakukan apapun semampunya untuk melindungi warga sipil yang menghindari kekerasan, perang, namun jangan pernah lupa bahwa tanggung jawab utama perlindungan ada di tangan pemerintah," katanya.

Duta Besar Nigeria untuk PBB Joy Ogwu yang merupakan presiden DK untuk April mengatakan sanksi bagi Sudan Selatan mendapat banyak dukungan dari negara anggota dewan.

"Saya rasa kami siap untuk menerapkan sanksi," kata Dubes Prancis untuk PBB Gerard Araud.

Sementara Dubes AS untuk PBB Samantha Power dalam akun Twitternya mengatakan: "Demi kebaikan rakyat Sudan Selatan, masyarakat internasional harus memberikan sanksi kepada pengacau politik dan mereka yang menyasar warga sipil."

Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mengancam Sudan Selatan akan menerapkan sanksi.

Presiden Barack Obama awal bulan ini membuka peluang pemberian sanksi bagi mereka yang melanggar HAM di Sudan Selatan atau merusak demokrasi serta menghambat proses perdamaian.

China yang merupakan investor terbesar dalam industri minyak Sudan Selatan mengatakan akan "berpartisipasi dengan hati-hati" dalam pembicaraan DK PBB, namun tidak mengatakan apakah mereka akan mendukung sanksi.

"Kami akan membuat keputusan dalam posisi kami sesuai pro dan kontra," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Qin Gang di Beijing seraya menambahkan bahwa China lebih memilih dilakukannya pertemuan antara semua pihak bertikai di negara itu.

Introspeksi PBB

Lebih dari satu juta warga lari dari rumah mereka sejak pecah bentrokan di negara termuda dunia itu pada Desember, antara tentara yang mendukung Presiden Salva Kiir dan tentara yang setia pada wakil presiden tersingkir Riek Machar.

Pertempuran itu memperburuk ketegangan etnis antara suku Dinka asal Presiden Kiir dan suku asal Machar, Nuer.

Negosiasi antara pemerintahan Kiir dan pemberontak yang setia pada Machar telah gagal sejak penandatanganan gencatan senjata pada 23 Januari yang tidak pernah terwujud.

PBB menuding pemberontak pekan lalu memburu lelaki, perempuan dan anak-anak di rumah sakit, gereja, dan masjid di ibukota provinsi Unity yang kaya minyak, kemudian membunuh mereka berdasar etnis dan kebangsaannya.

Setelah pemberontak menawan Bentiu, warga Dinka di kota Bor, provinsi Jonglei menyerang markas PBB pada Kamis di mana sekitar 5 ribu orang yang sebagian besar suku Nuer berlindung.

Mereka berpura-pura sebagai pengunjuk rasa damai yang mengantarkan petisi kepada PBB sebelum melepaskan tembakan dalam markas tersebut, sehingga menewaskan 58 orang serta melukai 98 lainnya termasuk dua anggota pasukan penjaga perdamaian India, kata PBB.

Ribuan orang tewas dan puluhan ribu lainnya mengungsi di markas-markas PBB sekitar Sudan Selatan setelah kekerasan melanda seluruh negeri.

DK PBB dijadwalkan memperbaharui mandat misi perdamaian PBB di Sudan Selatan atau dikenal sebagai UNMISS pada Juli.

Pada Desember, Dewan menyetujui rencana untuk melipatgandakan jumlah pasukan penjaga perdamaian menjadi 12.500 tentara karena kerusuhan semakin parah namun sejauh ini hanya separuh dari 5.500 pasukan yang telah tiba.

"Kami memperbaiki mandat UNMISS sehingga juga harus menghadapi fakta bahwa mungkin kami tidak bisa bekerja sama dengan pemerintahan ini lagi karena kejahatan dilakukan oleh kedua belah pihak," kata Araud.

"Saya rasa kita harus melakukan introspeksi atas apa yang harus dilakukan PBB di Sudan Selatan."

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement