REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman mati atas pemimpin Ikhwanul Muslimin (IM) Muhammad Badie dan 682 orang lain pada Senin, kata pengacara dan jaksa setelah dua sidang singkat, yang sebagian diboikot pembela.
Pengadilan sama juga mengubah 492 dari 529 hukuman mati, yang disahkan pada Maret, menjadi sebagian besar hukuman seumur hidup.
Persidangan yang dipimpin hakim Said Youssef Sabry telah memicu kritik internasional terhadap hukuman yang dijatuhkan pada bulan lalu. Vonis tersebut dikeluarkan di tengah-tengah penumpasan para pendukung Presiden terguling Mohammad Mursi.
Berdasarkan atas hukum Mesir, hukuman mati dirujuk kepada pakar Islam tertinggi untuk dimintai pandangannya sebelum diratifikasi. Satu pengadilan boleh memilih untuk mengubah hukuman, yang kemudian bisa diajukan ke pengadilan tingkat banding.
Dari 683 orang yang dijatuhi hukuman pada Senin, hanya sekitar 50 berada dalam tahanan. Hakim akan mengeluarkan putusan pada 21 Juni. Yang lainnya mempunyai hak untuk pengadilan ulang jika mereka menampakkan diri di pengadilan.
Putusan tersebut merupakan yang pertama terhadap Badie, pemimpin spiritual Ikhwanul Muslimin, organisasi yang Mursi memiliki posisi sebagai salah satu pemimpinnya, dalam beberapa peradilan yang dia hadapi atas berbagai dakwaan bersama dengan Mursi sendiri dan para pemimpin Ikhwanul Muslimin lain.
Sejumlah wanita, anggota keluarga dari para pemimpin itu, yang menunggu di luar ruang sidang di Provinsi Minya, di bagian selatan Mesir, jatuh pingsan mendengar kabar tentang amar putusan tersebut.
"Di mana keadilan!" kata mereka berteriak.
Beberapa mengatakan anggota keluarga didakwa tak adil atau diadili.
"Anakku bahkan tidak shalat, dia bahkan tidak tahu di mana masjid," kata seorang wanita, yang putranya termasuk di antara 529 orang yang dijatuhi hukuman mati pada Maret.
Mereka yang dijatuhi hukuman pada Senin dituduh terlibat dalam pembunuhan dan usaha pembunuhan personel polisi di Provinsi Minya pada 14 Agustus, saat polisi membunuh ratusan pendukung Presiden terguling Mursi dalam bentrokan-bentrokan di Kairo.
Para pembela memboikot sidang terakhir itu dengan menyebutnya "menggelikan" setelah hukuman mati massal dijatuhkan. PBB mengecam hal itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Pengacara Khaled Elkomy menyatakan bahwa 60 persen dari 529 terdakwa, termasuk guru dan sejumlah dokter, mempunyai bukti "yang memperkuat bahwa tidak hadir pada hari mereka dituduh menyerang kantor polisi Matay di Minya, kata satu pernyataan yang dikeluarkan oleh kelompok hak asasi manusia Avaaz.
Pemerintah telah mengeluarkan pembelaan bahwa penanganan kasus pertama oleh pengadilan disahkan setelah melalui kajian hati-hati dan dapat diajukan banding.
Jaksa Abdel Rahim Abdel Malek membela tuduhan-tuduhan tersebut terhadap 529 orang.