Rabu 30 Apr 2014 14:47 WIB

Petugas Medis Jadi Korban Konflik Afrika Tengah

Massa dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan aksi mengutuk pembantaian kaum muslim di Afrika Tengah di Depan Istana Negara Jakarta, Jumat (28/2).   (Antara/ Wahyu Putro)
Massa dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan aksi mengutuk pembantaian kaum muslim di Afrika Tengah di Depan Istana Negara Jakarta, Jumat (28/2). (Antara/ Wahyu Putro)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGUILA --Sebanyak Enam belas orang penduduk sipil, termasuk tiga staf nasional Médecins Sans Frontières /Dokter Lintas Batas (MSF), terbunuh dalam sebuah perampokan bersenjata di dalam rumah sakit MSF di Boguila, sebuah kota di bagian utara, Republik Afrika Tengah, Sabtu (26/4) lalu.

MSF mengecam keras pembunuhan tanpa provokasi terhadap penduduk sipil tak bersenjata di sebuah lokasi yang dengan jelas ditandai sebagai fasilitas kesehatan MSF. “Kami sangat terkejut dan sedih akan kekerasan brutal yang dilakukan terhadap staf medis dan penduduk setempat,” demikian disampaikan Stefano Argenziano, Kepala Misi MSF di Republik Afrika Tengah dalam keterangan tertulisnya.

“Prioritas pertama kami adalah merawat mereka yang terluka, memberitahu anggota keluarga, dan memastikan keamanan staf, pasien, dan rumah sakit.”

“Peristiwa yang mengerikan ini telah memaksa kami untuk menarik staf kunci kami dan menghentikan sementara aktivitas kami di Boguila. Meskipun kami tetap berkomitmen menyediakan bantuan kemanusiaan kepada penduduk, kami juga harus mempertimbangkan keamanan staf kami,” ujar Argenziano. “Menanggapi tindakan yang tidak berperikemanusiaan ini, kami juga tengah mengkaji apakah memungkinkan untuk melanjutkan aktivitas kami di daerah-daerah lainnya.”

Peristiwa ini terjadi ketika para anggota eks-Seleka yang bersenjata mengelilingi RS Boguila pada saat sebuah pertemuan sedang diadakan bersama empat puluh tokoh masyarakat yang diundang oleh MSF untuk mendiskusikan akses medis dan layanan kesehatan.

Pada saat beberapa orang bersenjata merampok kantor MSF dengan todongan senjata dan menembak ke udara, orang-orang bersenjata lainnya menghampiri lokasi pertemuan di mana staf MSF dan anggota masyarakat tengah berkumpul bersama di bangku. Tanpa provokasi apa-apa, orang-orang bersenjata tersebut mulai menembak ke arah kerumunan, menyebabkan mereka tewas dan terluka parah.

MSF adalah satu-satunya organisasi kemanusiaan internasional yang bekerja di Boguila untuk membantu penduduk yang semakin menghadapi serangan-serangan mematikan dan tanpa pandang bulu yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di wilayah tersebut. Peristiwa-peristiwa mematikan pada hari Sabtu merupakan serangan yang tidak bisa diterima, yang tidak hanya menyerang penduduk sipil, namun juga menyerang bantuan medis dan kemanusiaan.

MSF menyerukan kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk menghormati netralitas para petugas kesehatan, fasilitas, dan aktivitas pelayanan kesehatan.

Sejak kudeta di bulan Maret 2013, Boguila telah berada dalam kondisi tidak stabil dengan ketegangan dan kekerasan yang terus meningkat, yang telah memaksa penduduk untuk mengungsi massal pada bulan Agustus 2013. Pada bulan Desember 2013, penduduk Muslim yang melarikan diri dari kekerasan di desa Nana Bakassa menyelamatkan diri dengan menumpang di rumah keluarga-keluarga di Boguila sebelum pindah ke utara.

Belum lama ini, pada tanggal 11 April, hampir 7.000 orang lari ke dalam hutan, dan 40 orang mengungsi ke fasilitas MSF, setelah sebuah kelompok bersenjata menyerang konvoi, dengan didampingi MISCA, yang sedang transit melalui Boguila.

Sejak 2006, MSF telah mengelola rumah sakit dengan kapasitas 115 tempat tidur di Boguila, dan menyediakan layanan kesehatan primer dan sekunder untuk penduduk yang berjumlah sekitar 45.000 orang di wilayah tersebut.

Tim MSF juga mendukung 7 posko kesehatan di sekitar Boguila dalam menyediakan layanan kesehatan primer, sebagian besar merawat malaria dan merujuk kasus-kasus parah ke rumah sakit. Setiap bulan, tim menangani sekitar 9.000-13.000 konsultasi kesehatan umum dan merawat 5.000-10.000 pasien malaria.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement