REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) melarang sekutunya di teluk, Bahrain menandatangani kerja sama kesepakatan investasi dengan Rusia. Kementerian Luar Negeri AS menyatakan saat ini belum tepat bagi sekutu AS untuk berbisnis dengan Rusia yang terkena sanksi ekonomi Barat.
"Selama Rusia masih berupaya membuat ketidakstabilan di Ukraina, bukan waktunya bagi negara-negara untuk melakukan kerja sama bisnis seperti biasa dengan Rusia," demikian pernyataan resmi Kemenlu AS, Kamis (1/5) WIB.
AS mengaku sudah membicarakan keberatan dan penolakan kerja sama bisnis it dengan pemerintah Bahrain. AS berharap keberatan mereka itu dijadikan pertimbangan serius Bahrain untuk memutus bisnis dengan Rusia.
Badan Investasi Langsung Rusia (RDIF) pada Selasa (29/4) mengumumkan, sudah menandatangani kerja sama dengan badan investasi Bahrain, Mumtalakat. Kedua lembaga negara itu bersepakat untuk bekerja sama dan menanamkan modal di berbagai sektor industri. Baik di Bahrain mau pun Rusia.
Kepala Eksekutif Mumtalakat, Mahmud al-Kooheji akan bergabung dengan RDIF di badan penasihat internasional lembaga itu. Mahmud akan membantu memformulasikan arah strategis RDIF ke depannya.
Mumtalakat mengelola aset 7,1 miliar dolar AS per September tahun lalu. Dibandingkan sejumlah lembaga investasi lainnya di Timur Tengah, Mumtalakat tidak termasuk manajer investasi besar.
Sementara, RDIF dibentuk pemerintah Rusia dengan dana 10 miliar dolar AS untuk melakukan investasi eukitas. Terutama bagi kemajuan ekonomi negeri itu.
Bahrain merupakan salah satu aliansi utama AS di teluk. AS sudah memberikan sanksi ekonomi kepada 17 perusahaan dan tujuh warga Rusia yang terkait dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Sanksi juga diberikan Eropa kepada 15 warga Rusia dan Ukraina. Eropa juga membekukan aset-aset orang ini.