Senin 05 May 2014 11:44 WIB

Kontroversi Pemilihan PM Baru Libya

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Citra Listya Rini
Bendera Libya
Bendera Libya

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pengusaha Libya Ahmed Maiteeq dinyatakan terpilih sebagai perdana menteri yang baru, Ahad (4/5) waktu setempat. Namun, beberapa jam setelah pemilihannya, parlemen menyatakan pemilihan tersebut tidak sah.

Deputi pembicara pertama parlemen, Ezzedin al Awami mengatakan Maiteeq gagal memperoleh kuorum yang diperlukan untuk melenggang ke posisi tersebut, meskipun perolehan suaranya terdepan diantara kandidat yang lain. Ia mengatakan Maiteeq gagal memperoleh 120 suara dari 185 kursi di parlemen, berdasarkan hukum pemilihan perdana menteri.

Menurutnya, Maiteeq hanya mendapat 113 suara. Awami mendeklarasikan pemilihan tersebut tidak sah dan menginstruksikan Abdullah al Thinni melanjutkan posisi yang ditinggalkannya tiga minggu lalu. Awami mengatakannya dalam pernyataan yang dimuat di situs kabinet.

Wartawan BBC Rana Jawad di Tripoli mengatakan Juru bicara perdana menteri mengkonfimasi kepada televisi lokal bahwa Thinni akan memenuhi permintaan tersebut. Thinni telah mengundurkan diri tiga minggu lalu karena serangan yang membahayakan diri dan keluarganya.

Ia ditembaki oleh pemberontak sebulan setelah pemilihannya sebagai perdana menteri sementara. Namun, Saleh Makhzoum yang merupakan deputi pembicara kedua parlemen menolak pernyataan Awami. "Ahmaed Maiteeq secara resmi adalah perdana menteri baru, dan ia memenuhi kebutuhan dukungan yang diperlukan," kata dia seperti dikutip dari Reuters.

Makhzoum menegaskan pemilihan Maiteeq dilakukan dengan jelas dan benar dari segi hukum maupun proses pemungutan suara. Perhitungan ulang dilakukan dan menurut Makhzoum, Maiteeq memperoleh 121 suara dukungan. Jumlah tersebut mengalahkan kandidat penantang lainnya, Omar al Hassi yang merupakan seorang profesor di sebuah universitas.  

Juru bicara kabinet, Ahmed Lamin mengatakan pada Reuters, pemerintah akan mengimplementasikan perintah apa pun yang datang dari parlemen sesuai dengan prinsip konstitusional. Ia menolak berkomentar lebih lanjut. Seorang politisi independen dari Benghazi Al Sharif al Wali mengatakan pada kantor berita AP, pengambilan sumpah Maiteeq tidak konstitusional dan bertentangan dengan prinsip demokrasi. 

"Deputi kedua tetap melanjutkan sesi padahal deputi pertama sudah menundanya karena kekacauan," kata Al Wali.

Hal tersebut tidaklah sesuai dan menimbulkan kekacauan berikutnya. Sejak perang sipil yang mengakhiri masa kekuasaan Moamar Gaddafi, Libya menghadapi krisis demokrasi. Parlemen terpecah karena musuh dan pasukan pemberontak menghalang-halangi terbentuknya pemerintahan baru. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement