REPUBLIKA.CO.ID, DONETSK -- Setelah mendeklarasikan Ukraina Timur sebagai negara independen, Donetsk dan Luhansk kini ingin bergabung dengan Rusia, Senin (12/5). Hasil referendum pada Ahad menunjukan dua wilayah ini telah mengubah diri menjadi Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk, meskipun Ukraina tidak mengakuinya.
Referendum diinisiasi oleh Donetsk, kemudian diikuti oleh Luhansk. Pemimpin Republik Rakyat Donetsk, Denis Pushlihin mengatakan mereka ingin bergabung dengan federasi Rusia. "Orang-orang dari Donetsk selalu menjadi bagian dari dunia Rusia. Bagi kami, sejarah Rusia adalah sejarah kami," kata Pushlihin dikutip dari Reuters.
Ia meminta Rusia untuk mempertimbangan keinginan mereka untuk menyatu dengan Kremlin. Di Donetsk dan Luhansk bermukim sekitar 6,5 juta orang. Deklarasi kemerdekaan mereka menjadi deklarasi terbesar di tanah Eropa sejak Yugoslavia dan Czechoslovakia melepaskan diri dari Uni Soviet, lebih dari 20 tahun lalu.
Referendum di Donetsk berhasil mengumpulkan 89 persen suara sementara di Luhansk sebanyak 96 persen. Tidak seperti referendum Crimea, kali ini Rusia lebih memilih jaga jarak. Presiden Rusia Vladimir Putin minggu lalu telah meminta separatis pro Rusia di Ukraina timur untuk menunda referendum, meskipun akhirnya mereka tetap menyelenggarakannya.
Hingga Senin, Moskow juga belum mengakui Donetsk dan Luhansk sebagai negara independen. Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan hasil referendum harus membawa Kiev, Donetsk dan Luhansk duduk bersama untuk berunding.
Dikutip dari The Wall Street Journal, Rusia hanya menyatakan penghormatan atas keputusan rakyat Ukraina timur. Lebih dari itu, Kremlin memilih diam. Pemberitaan tentang hal ini juga hanya mendapat sedikit tempat di televisi Rusia.
Putin telah berbicara dengan Presiden Swiss Didier Burkhalter yang bertindak ketua Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) pada Senin. Kremlin, kata Putin mendesak OSCE untuk menyelesaikan krisis dengan membangun dialog langsung antara pihak berwenang di Kiev dan perwakilan dari Ukraina timur.
Beberapa pengamat menilai Moskow menahan diri karena tak ingin dapatkan lebih banyak sanksi. Uni Eropa pada Senin telah menambah 13 nama dan dua lembaga dalam daftar penerima sanksi. Aset mereka dibekukan dan tak diizinkan untuk bepergian.
Pemerintah Ukraina di Kiev tetap tidak mengakui referendum. Kiev mengatakan referendum tersebut tidak memiliki dasar hukum dan banyak kekurangan. Pemungutan suara dilakukan secara liar dengan tidak adanya registrasi pemilih, data pemilih usang, hingga TPS yang tidak layak.
Amerika Serikat dan Uni Eropa juga tidak akan mengakui hasil referendum. "Kami tidak akan mengakui referendum kemarin. Referendum itu ilegal dan tidak sah," kata presiden dewan para pemimpin Uni Eropa Herman Van Rompuy pada konferensi pers di ibukota Ukraina.
Jika kehilangan Donetsk dan Luhansk, Kiev akan cukup kelimpungan. Dua wilayah ini menyumbang 15 persen dari pendapatan Ukraina dari sektor industri. Tiga industri di wilayah ini dihasilkan dari pengolahan baja dan industri bahan berat lainnya di Donbass. Donbass merupakan wilayah produksi tambang terproduktif di tanah Eropa.
Meskipun tidak bergabung dengan Rusia, Ukraina timur akan menjadi negara independen yang kuat dari segi ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan pemerintah Ukraina bernegosiasi dengan para separatis agar mereka tak kehilangan lumbung penutup hutangnya itu.
Perdana menteri sementara Ukraina Arseniy Yatsenyuk telah menerima sinyal tersebut. Ia mengatakan pemerintah akan mengadakan dialog nasional dengan para pemimpin dari wilayah timur, tengah, barat dan lainnya. ''Agendanya termasuk perubahan konstitusi untuk memberi kekuatan lebih di daerah,'' katanya dikutip dari BBC.