REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Kekerasan politik kembali terjadi di ibukota Thailand, Bangkok, Kamis (15/5). Tiga orang pendemo antipemerintah tewas ditembak pria bersenjata.
Penasihat keamanan nasional untuk Perdana Menteri Thailand Letnan Jenderal Paradon Patthanathabut mengatakan serangan itu terjadi sekitar pukul 02.00 waktu setempat ketika sekelompok pria bersenjata di sebuah truk pickup menembaki sebuah kamp protes di dekat lokasi Monumen Demokrasi di Bangkok. Lokasi tersebut telah menjadi tempat berkemah massa antipemerintah selama berbulan-bulan.
Saksi mata mengatakan sejumlah ledakan akibat lemparan granat juga terjadi sebelum tembakan dilepaskan. Dokter di unit gawat darurat di Bangkok, dikutip dari BBC mengatakan para korban terluka karena pecahan peluru.
Bangkok Post melaporkan serangan terbagi dua. Pertama, terjadi pada pukul 02.45 waktu setempat. Saat itu, sekelompok pria yang menaiki mobil pickup putih menembaki barisan penjaga di persimpangan Khok Wua.
Lima menit kemudian, penyerang menembaki massa dengan senjata M79. Tidak lama kemudian tentara datang dan mengamankan lokasi.
Bangkok Erawan Emergency Center melaporkan tiga orang tewas dalam serangan itu dan 23 luka-luka. Para korban yang luka parah, termasuk pria berusia 21 tahun bernama Narayot Chanphet yang ditembak di dada dan pria 51 tahun bernama Somkhuan Nuankanai.
Polisi mengidentifikasi kedua korban tewas saat sedang tidur. Seorang petugas keamanan pengunjuk rasa tertembak.
Sebelumnya, terjadi serangkaian serangan di lokasi kamp pengunjuk rasa oposisi pemerintah. Namun, serangan kali ini lebih besar daripada biasanya.
Belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serang itu. Kedua kelompok massa diketahui memiliki pasukan bersenjata.
Kamis pagi, pengunjuk rasa menyerbu lantai dasar kantor Angkatan Udara. Hal itu memaksa pengawal melarikan perdana menteri dari gedung dan membatalkan pertemuan dengan anggota Komisi Pemilihan Umum.
Paradon mengatakan para pengunjuk rasa mengendarai truk masuk melalui pintu gerbang. Sedangkan Perdana Menteri sementara Niwatthamrong Boonsongpaisan dan menteri lain sedang mengadakan pertemuan di bagian lain gedung.
Karena gangguan itu, pertemuan dibatalkan dan para politisi meninggalkan tempat. Juru bicara Angkatan Udara Marsda Montol Sanchukorn mengatakan kepada CNN para pengunjuk rasa menuntut memeriksa ruangan untuk memastikan Perdana Menteri tidak lagi di dalam.
"Kami mengizinkan mereka untuk melihat. Mereka mengatakan akan beristirahat sebentar sebelum pergi," katanya.
Beberapa pengunjuk rasa tetap menggelar aksi di kompleks. Selama akhir pekan Thailand diguncang sejumlah aksi protes politik. Puluhan massa anti dan propemerintah turun ke jalan.
Para pengunjuk rasa antipemerintah berusaha membentuk pemerintah baru. Mereka ingin membentuk pemerintahan tanpa melalui pemilihan umum.
Peneliti yang juga Direktur PQA Associates, sebuah perusahaan penilai risiko di Bangkok Paul Quaglia mengatakan para pendukung Yingluck menilai pemecatan Yingluck oleh Mahkamah Konstitusi bermotif politik yang melampaui batas peradilan.
"Mereka menganggapnya sebagai cara merebut pemilu yang demokratis," katanya.
Dia menambahkan oposisi tidak mungkin menang di tempat pemungutan suara. Partai Demokrat mengatakan mereka tidak ingin pemilu diadakan karena mereka tidak yakin menang.