Jumat 16 May 2014 17:55 WIB

Hong Kong Hancurkan 30 Ton Gading Gajah Ilegal

Gading Gajah
Foto: AP
Gading Gajah

REPUBLIKA.CO.ID, — Pihak berwajib di Hong Kong sejak Kamis (15/5) kemarin menghancurkan hampir 30 ton gading gajah. Ini dilakukan dengan alasan terlalu mahal untuk menjaga salah satu tempat penyimpanan gading gajah terbesar di dunia itu. 

Meski langkah itu dipuji kelompok konservasi,  banyak pihak berkeras lebih banyak hal yang harus dilakukan di Asia untuk membantu mengatasi perburuan gajah dan spesies badak yang terancam keberadaannya secara kritis.

Setelah bertahun-tahun tanpa keputusan, pemerintah Hong Kong membakar satu ton pertama gading itu dari stok yang sangat besar, yang disita dari sindikat-sindikat kejahatan terhadap alam liar sejak 2004. 

Berbicara di fasilitas tempat 35 tong potongan gading dihancurkan, kepala Komite Penasihan Spesies Terancam Punah, Paul Shin, mengatakan bahwa Hong Kong berniat membantu mengakhiri perburuan gajah. "Hari ini bukan perayaan, tapi pengingat tragedy dimana begitu banyak gajah telah dibunuh secara ilegal semata-mata karena nilai pasar gading mereka," ujar Shin, seperti dilansir AP, Jumat (16/5).

Kota China yang semi-otonom itu adalah pusat pengapalan besar bagi perdagangan gading gajah dan cula badak ilegal. Tahun lalu, para pejabat lokal para pejabat lokal menangkap delapan ton gading dari negara-negara sampai Nigeria dan Afrika Selatan, yang berlayar menuju para konsumen yang semakin makmur di seluruh Asia.

Para angota komite penasihat pemerintah itu selama ini menghadapi kritikan karena keengganan sebelumnya untuk menghancurkan stok itu. Saat China dan Amerika Serikat mulai menghancurkan timbunan gading mereka awal tahun ini, para pejabat mengumumkan pada Januari bahwa Hong Kong akan membakar 28 ton gading pada pertengahan 2015.

Proses ini dapat membantu mengedukasi konsumen Asia, tidak hanya mengenai konservasi hewan namun mengenai isu-isu lebih luas terkait perburuan gajah dan badak termasuk konflik bersenjata, ujar Julie Ayling dari proyek Kejahatan Lingkungan Transnasional di Australian National University.   

“Sebagai contoh, bukti menunjukkan bahwa beberapa kelompok milisia dan pemberontak di Afrika telah terlibat dalam perdagangan kehidupan alam liar ilegal. Ada dugaan bahwa Janjaweed dari Sudan telah terlibat dalam penyelundupan gading untuk menghasilkan uang bagi gerakan mereka," ujar Ayling.

Meski pembakaran gading menghapus kesempatan gading hasil buruan dilempar kembali ke pasar, perlu ada lebih banyak studi mengenai dampak-dampak penghancuran pasokan, menurut Tom Miliken, kepala program gajah dan badak dalam jaringan pengawas perdagangan hewan liar, Traffic.

"Secara konvensional, jika ada komoditas yang diminati banyak pihak dan pasokannya berkurang, harga akan naik. Kita perlu bukti. Kita tidak dapat begitu saja merangkul persepsi bahwa pembakaran adalah solusi tanpa melihat realitas yang terjadi di pasar gelap," ujarnya.

Upaya untuk memberantas pasar gelap harus dipertahankan di seluruh Asia, tambah Milliken, dan fokus harus dikembalikan ke negara-negara yang acuh tak acuh seperti Thailand, di mana perdagangan aksesori gading untuk turis harus dihentikan secara tuntas. 

Namun Milliken dan aktivis konservasi lain melihat ada harapan dari apa yang terjadi di Jepang. Sepuluh tahun yang lalu, Jepang merupakan konsumen gading besar. Saat ini, pasar itu telah hilang karena generasi yang lebih muda tidak suka komoditas tersebut.

Dengan pengumuman dari para peritel Hong Kong yang menyatakan tidak akan lagi menjual produk gading, Hong Kong mungkin akan menghadapi keberhasilan yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement