REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mesir masih akan menggelar pemilu presiden yang mulai memasuki hari kedua. Jenderal Abdul Fattah al-Sisi yang hanya bersaing dengan Hamdeen Sabahi diperkirakan dapat meraih kekuasaan menduduki kursi presiden dengan mudah.
Namun, pemilu di bawah kontrol junta militer pimpinan Sisi yang penuh dengan konflik ini pun dinilai hanya sandiwara. Menurut pengamat Timur Tengah Smith Alhadar, itu sekadar untuk melegitimasi mantan Sisi sebagai pemimpin Mesir.
“Pemilu di Mesir hanya pemilu jadi-jadian untuk melegitimasi Sisi jadi pemimpin,” kata Alhadar, Selasa (27/5).
Di dalam pemilu tersebut, lanjut penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies itu, tidak ada demokrasi dan tidak semua bangsa Mesir memberikan suaranya. Terlebih, menyusul organisasi Ikhwanul Muslimin yang telah dicap sebagai teroris dan ditahan oleh otoritas Mesir.
“Bahkan, ada partai yang dilarang mengikuti pemilu. Jadi, pemilu tidak demokratis,” ujar Alhadar.
Dia menilai, Mesir seharusnya tidak lagi dipimpin oleh militer. Namun, kondisi negara membutuhkan pemimpin yang kuat dan bahkan bertangan besi. Pasalnya, Mesir bergantung kepada Sungai Nil untuk kehidupan para warganya, sehingga para pemimpinnya harus dapat menjamin aliran sungai terjaga.
“Karena itu, masyarakat dengan mudah percaya militer. Masih banyak warga Mesir yang hidup miskin sehingga bagi mereka yang terpenting adalah terjaganya keamanan, tercukupinya kebutuhan pokok, dan kondisi itu telah dimanfaatkan oleh militer,” jelas Alhadar.
Namun, di satu sisi kondisi Mesir pascapemilu kemungkinan bisa lebih baikdengan adanya jaminan keamanan. “Tetapi untuk perbaikan perekonomian masih perlu waktu. Sisi perlu mengubah kebijakannya,” kata Alhadar.
Tantangan terberat Al-Sisi adalah bidang perekonomian dan politik. Sisi juga dinilai akan sulit membangun Mesir karena membutuhkan dana yang besar, meskipun ia mendapatkan dana bantuan dari negara Teluk seperti Arab Saudi.
Selanjutnya, meskipun nantinya Sisi akan menjabat sebagai presiden, demokrasi di negara tersebut tidak akan hidup. Namun, kelompok Ikhwanul Muslimin tidak akan mati dan akan tetap berusaha bangkit.
“Bahkan kelompok ini bisa membuat gerakan bawah tanah. Kelompok ini perlu diikutsertakan dalam pemilu,” tandas Alhadar.