REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Babak baru Hamas-Fatah yang membentuk kabinet bersatu akan berdampak besar terhadap perundingan damai Palestina-Israel. Israel tidak lagi bisa berkilah menolak perundingan damai dengan Palestina.
Yaron Ezrahi, professor emeritus ilmu politik di Universitas Hebrew, mengatakan rekonsiliasi Hamas-Fatah telah memberikan pesan jelas kepada Pemerintahan Benjamin Netanyahu dan koalisi sayap kanannya. "Pemerintahan baru Palestina ini menjadi ancaman serius Pemerintah Israel," kata Yaron seperti dikutip Aljazeera, Selasa (3/6).
Kini, kata Yaron, tidak ada lagi penolakan Israel untuk melanjutkan jalan damai yang sudah ditetapkan dan kemudian gagal. Alasan kuat Israel bahwa Abu Mazen (Presiden Mahmud Abbas) tidak mewakili seluruh bangsa Palestina gugur sudah.
Alasan bahwa Pemerintah Palestina di Ramallah, Tepi Barat, hanya memiliki legitimasi separo Palestina saja, pun tidak berlaku lagi. Yaron menegaskan kini Presiden Abbas telah menjadi Presiden Palestina, baik untuk warga Fatah maupun Hamas. "Pembentukan pemerintahan bersatu ini akan mengefektifkan prospek perdamaian Palestina-Israel," katanya.
Mimpi Israel dan koalisi sayap kanan untuk menghancurkan peta damai dan pembentukan negara Palestina-Israel dipastikan hancur. Selama ini, Israel selalu mencari-cari alasan untuk menolak melanjutkan pembicaraan damai dengan Palestina. Seribu alasan selalu dibuat untuk mencegah berdirinya negara Palestina.
Pada Senin (2/6) waktu Tepi Barat, Fatah dan Hamas akhirnya mencapai kata sepakat untuk membentuk pemerintahan bersatu dengan 17 menteri. Sejak Pemilu 2006 yang dimenangkan kubu Hamas, kedua faksi terlibat konflik yang berakibat pada pecahnya Palestina ke dalam dua pemerintahan.
Hamas membangun pemerintahan di Jalur Gaza sementara Abbas di Tepi Barat. Berbagai upaya untuk menyatukan kedua faksi ini sudah dilakukan, namun selalu gagal. Bahkan, menit-menit menjelang pengumuman pemerintahan baru Palestina ini, perbedaan tajam antara Hamas dan Fatah dalam penunjukan sejumlah menteri masih terjadi.