REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pengamat masalah politik, Yasmi Adriansyah menilai kunjungan Perdana Menteri Australia Tony Abbott ke Indonesia untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Batam, Rabu merupakan babak baru hubungan Indonesia Australia.
Pertemuan ini bermakna sangat strategis mengingat hubungan kedua negara beberapa bulan terakhir menyentuh titik terendah, termasuk dengan ditarik pulangnya Dubes RI Nadjib Riphat Kesoema pada akhir tahun lalu usai masalah penyadapan Australia terhadap Indonesia terkuak di media, demikian Direktur, Projecting Indonesia, Yasmi Adriansyah, kepada Antara, Rabu.
"Saya berpandangan kunjungan ini merupakan babak baru dan sangat strategis khususnya dalam konteks pemulihan hubungan kedua negara. Dalam hal ini, apresiasi layak diberikan kepada kedua pemimpin negara yang bersedia berkomunikasi, termasuk melalui telepon, sehingga kebekuan selama ini bisa dicairkan," Kandidat PhD, ANU, Canberra Yasmi Adriansyah.
Setelah mengalami titik terendah hubungan dalam beberapa bulan terakhir, Presiden Yudhoyono SBY mengundang PM Abbott untuk hadir di acara Open Government Partnership (OGP) di Bali, 6 Mei lalu.
Namun PM Abbott menyatakan tidak bisa hadir karena adanya urusan mendesak di dalam negeri. Abbott kemudian menelepon SBY dan berjanji untuk segera berkunjung ke Indonesia. Akhirnya kedua pemimpin sepakat untuk bertemu di Batam, 4 Juni.
"Saya berpandangan, langkah SBY mengundang Abbott ke Bali dan komunikasi telepon yang dilakukan Abbott merupakan keinginan dari kedua pemimpin untuk memulihkan hubungan bilateral," ujar Yasmi Adriansyah.
Di satu sisi, SBY tidak ingin meninggalkan beban diplomatis kepada presiden yang akan menggantikannya. Di sisi lain, Abbott juga memahami bahwa pemulihan hubungan bilateral dapat dilakukan jika dia bersedia berkomunikasi secara pribadi dalam konteks saling menghargai.
Menurut Yasmi Adriansyah, turunnya derajat hubungan RI-Australia secara substantif memang disebabkan oleh terkuaknya permasalahan penyadapan Australia kepada SBY, Ani Yudhoyono dan pembantu terdekat presiden.
Selain itu, Abbott selaku kepala pemerintahan Australia yang baru telah menerapkan kebijakan 'turn-boat-back policy' yang tidak sepenuhnya dapat diterima Indonesia.
Namun demikian, dari sisi personal, memburuknya hubungan RI-Australia juga disebabkan ketidaksenangan SBY saat mendengarkan tanggapan Abbott atas keberatan Indonesia. Abbott terlihat menganggap remeh kemarahan Indonesia dan tidak segera meminta maaf atas insiden penyadapan yang terjadi pada tahun 2009 lalu.
Atas berbagai komplikasi tersebut, Indonesia akhirnya menunjukkan sikap keras dengan menarik Dubes Nadjib kembali ke Indonesia serta membekukan sejumlah kerja sama bidang-bidang strategis antara kedua negara. Indonesia juga meminta Australia menyepakati langkah-langkah pemulihan, khususnya melalui kerangka Kode Perilaku (Code of Conduct) yang sampai sekarang terus dinegosiasikan kedua belah pihak.
Dari pengamatan diaspora Indonesia di Australia sangat mengharapkan hubungan RI-Australia dapat kembali pulih bahkan semakin meningkat. Sekalipun hubungan antarwarga dan antarbisnis tidak terlalu terkena dampak, namun kondisi rendahnya derajat hubungan telah menciptakan kekhawatiran yang tentunya tidak diharapkan kedua negara.