REPUBLIKA.CO.ID, GEELONG -- Kamar Leo Seemanpillai sudah dikosongkan. Hanya tinggal selembar kertas tertempel di pintu. "Adalah cahaya, bukan kegelapan yang paling menakutkan," begitu tertera dalam kertas itu.
Di ruang tamu, masih di rumah yang sama di Geelong, Victoria, Australia, sebuah persembahan diletakkan di meja makan. Sebuah karangan bunga mawar putih, krisan dan aster melingkari sebuah foto berbingkai, seorang pencari suaka Tamil berusia 29 tahun.
Segelas susu dan segelas air berada di samping karangan bunga. Seorang temannya mengatakan susu dan air itu diperuntukkan bagi roh Seemanpillai.
Dia menjadi pencari suaka kedua yang melakukan aksi bakar diri di Australia setahun belakangan. Seemanpillai meninggal 1 Juni lalu. Bagi orang-orang yang mengenalnya di kota industri ini di Victoria selatan, tragedi kematiannya mulai meresap.
Aasif teman dekatnya dan sesama pencari suaka yang meminta untuk tidak diidentifikasi, tampak terguncang. "Saya bertemu dengannya Rabu lalu. Dia memasak untuk saya. Kami berbicara tentang keluarga. Percakapan yang hangat. Dia terlihat bahagia," ujarnya melalui penerjemah, dikutip dari Guardian, Kamis (5/6).
Keluarga Seemanpillai sangat berduka. Melalui telepon, ayah Leo yag tinggal di kamp pengungsian di Tamil Nadu, India mengatakan mereka belum makan selama berhari-hari. "Kami ingin melihat anak kami," kata dia.
Seemanpillai adalah salah satu dari ribuan pencari suaka Sri Lanka atau apa yang disebut oleh otoritas sebagai 'kedatangan maritim ilegal'. Di Geelong saja, advokat memperkirakan sekitar 100 Tamil tinggal dan menunggu hasil klaim suaka mereka.
Agen migrasi Seemanpillai menolak berbicara soal kasusnya. Sebuah sumber advokat pengungsi mengatakan kepada Guardian Australia Departemen Imigrasi telah membekukan izin tinggalnya. Namun, Menteri Imigrasi Scott Morrison membantahnya.
Pemerintah Australia telah mendeportasi lebih dari seribu pencari suaka asal Sri Lanka sejak Agustus 2012. Banyak dari mereka diinterogasi secara maraton dan seringkali tanpa kehadiran pengacara.
Leo bukan salah satu dari mereka. Tapi banyaknya pencari suaka yang dideportasi telah menciptakan ketakutan di komunitas mereka. Dalam beberapa hal, Seemanpillai adalah salah satu dari sedikit yang beruntung.
Dia punya hak untuk bekerja di Australia. Perahu yang membawanya menyeberangi Laut Timor dari Indonesia ke Darwin tiba pada 9 Januari 2013 sebelum Australia secara dramatis mengubah aturan tentang pencari suaka. Sejak saat itu, siapa pun yang tiba di daratan dengan perahu akan dikirim ke pusat penahanan lepas pantai di Papua Nugini atau pulau kecil Nauru.
Seemanpillai menghabiskan enam bulan dalam penahanan di Darwin sebelum pindah ke Geelong Mei tahun lalu setelah diberikan visa penghubung sementara. Meski baru sebentar tinggal di Geelong, ia adalah sosok yang dihormati.
Orang-orang yang mengenalnya mengatakan ia adalah orang yang murah hati dan tulus dibantu. Meski sebenarnya dialah yang pantas dibantu.
Cathie Bond, seorang advokat dari organisasi Rural Australians for Refugees bertemu Seemanpillai saat musim dingin. Dia membawa makanan, pakaian hangat, kaus kaki dan pakaian dalam untuk pencari suaka. Seemanpillai bisa berbicara bahasa Inggris. Dari situlah keduanya mulai dekat dan berteman.
"Leo tidak akan pernah menyinggung siapa pun dengan sengaja," kata Bond.
Seemanpillai juga kerap datang ke gereja lokal St Paul’s Lutheran untuk membantu tugas kebersihan. Rumput tampak dipangkas dengan rapi di Asphalt Paving Services tidak jauh dari St Paul. Seemanpillai terakhir masuk kerja di sini pada 29 Mei dan memotong rumput adalah salah satu tugas terakhirnya. Dia bekerja sejak Agustus tahun lalu.
Loker kerjanya masih penuh. Ada baju yang terlipat rapi dan kaca mata hitam. Dia dipekerjakan di sini satu hari dalam sepekan untuk membersihkan truk dan memotong rumput. Dia bangga dengan pekerjaannya dan pribadinya yang hangat membuatnya disukai rekan kerja.
Seorang buruh aspal Chris Sleep hampir menangis saat berbicara mengenai Seemanpillai. Karena ia selalu menyelesaikan makan siangnya lima menit sebelum istirahat berakhir dan selalu bersemangat untuk kembali bekerja.
Persahabatan mereka membuka mata Sleep tentang persoalan suaka. Sleep bahkan sebelumnay tidak pernah mendengar mengenai Tamil. "Saya tidak benar-benar terlibat dalam politik atau sesuatu seperti itu, tapi mengapa kita tidak bisa menampung orang-orang seperti itu. Mereka adalah orang-orang baik dan jujur yang hanya ingin hidup normal," ujar dia.