REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Debat bagian pertama calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia menyedot perhatian tak hanya di Indonesia, tapi juga di Australia. Bahkan, di negeri kangguru ini digelar nonton bareng (nobar) debat di salah satu kampus di Ibu Kota Australia,Canberra.
Dari pembicaraan wartawan ABC, Dina Indrasafitri dengan mereka yang menyaksikan debat tersebut. Ada kepuasan terhadap jalannya debat antara pasangan Prabowo Subianto –Hatta Radjasa dengan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang berlangsung Senin (9/06/2014) malam.
Namun, ada juga yang mengkritik bahwa debat masih kaku dan alokasi waktu untuk interaksi antar kandidat, hingga bisa menghasilkan ‘debat’ dalam arti sesungguhnya, masih kurang. “Kalau dari segi orang lain melihat debat dan membandingkannya dengan debat-debat lain di negara lain awalnya memang sepertinya bukan debat,” komentar Fitrian Adriansyah, yang saat ini menjadi kandidat doktor di Australian National University, Canberra.
“Tapi kemudian lumayan memanas dan ketika ada satu kandidat menanyakan ke kandidat lainnya kemudian agak lebih ramai dan lebih menarik,"
Sedangkan Saidiman Ahmad, seorang mahasiswa bidang kebijakan publik, juga di Australian National University, berkomentar bahwa debat masih terlalu kaku. “Lebih banyak monolog sebenarnya,” ucapnya.
"Dalam konteks agar ini bisa disebut debat memang sepertinya harus lebih banyak waktu agar satu kandidat menanyakan atau membalas dan...membandingkan apa yang dia punya dengan kandidat lainnya."
Dari beberapa orang yang diwawancarai perihal debat ini, banyak yang menyatakan terkesan dengan bagian interaksi antar kandidat.
“Yang paling menarik itu ketika ditanya masalah HAM [Hak Asasi Manusia]. Tim Prabowo kan ditanya oleh pak JK [Jusuf Kalla] tentang pendekatan HAM juga diskriminasi hukum,” ucap Zubaidah Ningsih, warga Indonesia yang sedang belajar di Swinburne Institute of Technology, Victoria.
Sekitar 20 orang hadir, dari kalangan komunitas Indonesia dan juga warga negara Australia yang punya minat dengan Indonesia.
Padahal, acara debat tersebut bila ditonton langsung berarti harus rela pulang malam dari tempat menonton .
Bahkan, Saidiman bercerita bahwa pada akhirnya yang menonton pulang sekitar jam 1.30 dini hari, sedangkan transportasi publik di kota Canberra tidak selengkap di kota Sydney atau Melbourne.
“Suasananya sangat seru. Awalnya kan kita mau kumpul di satu ruangan diskusi terbatas tapi karena semakin banyak orang akhirnya kita pindah ke ruang teater yang lebih besar,” tuturnya,
“Ada yang bawa kopi, ada yang bawa kacang, kerupuk, macam-macam, kita nonton seperti pesta. Ini bagian dari pesta demokrasi jadi kita juga merayakannya."
Tim Graham, mahasiswa University of Monash, Melbourne, adalah salah satu warga Australia yang menyempatkan diri menonton debat tersebut.
Ia mengaku cukup terkesan dengan panggung debat, yang menurutnya cukup mewah ketimbang acara serupa di Australia.
“Di sini biasanya lebih sederhana tampilannya, sedangkan [di sana] ada panggung, produksi besar, penonton banyak, menarik,” jelas Graham, yang menjabat sebagai direktur bidang komunikasi Asosiasi pemuda Australia-Indoensia (AIYA).
“Saya belum pernah melihat debat di sini di mana calon presiden dan calon wakil presiden berdiri bersandingan, menurut saya itu tidak lazim,” komentar Graham lagi, ketika ditanya apa saja yang Ia anggap menarik dari debat tersebut.
“Dan jelas nada keseluruhan [di debat] jauh lebih saling menghormati dibanding yang di Australia, sedikit kurang konfrontatif [dibanding Australia].”
Menurut saya memang ada sedikit perbedaan antara Indonesia dan Australia, di Indonesia biasanya segalanya tidak terlalu konfrontatif.”
Baik Graham maupun Fealy mengaku terkesan dengan kemampuan calon presiden Joko Widodo.
“Menurut saya, debat ini ternyata lebih berimbang dibanding dugaan saya. Saya tadinya menduga Prabowo akan menjadi penyampai yang jauh lebih kuat dibanding Jokowi, ternyata tidak,” jelas Fealy,
“Saya rasa Jokowi berbicara jauh lebih baik daripada yang diperkirakan oleh para pengamat. Bahkan, menurut saya Jokowi adalah yang paling menarik di antara empat kandidat.”
Secara keseluruhan, menurut Fealy, keempat kandidat cukup berhasil memberi penampilan yang baik dalam debat. Ia juga berkomentar bahwa Prabowo adalah kandidat yang terbilang paling menarik selama tahun 2009 dan 2014 ini.
Debat kali ini lebih hidup dan menarik dibanding debat yang dilangsungkan sebelum pemilihan umum lima tahun lalu, ucapnya.
“Salah satu yang saya ingat tentang debat itu adalah debat calon presiden tidak terlalu menarik. Sejujurnya, cukup membosankan, termasuk penampilan SBY dan itu tak menghambat SBY mendapatkan 61 persen suara,” ucapnya,
“Jadi saya rasa, meskipun publik mungkin tertarik pada debat calon presiden, mungkin itu bukan faktor penentu bagi banyak orang….saya rasa pemilih yang masih belum menentukan pilihan akan menentukan berdasarkan sejumlah faktor, dan debat hanyalah satu dari itu.”