Kamis 12 Jun 2014 09:58 WIB

Warga Turki Ditahan di Irak, NATO Adakan Pertemuan Darurat

NATO
Foto: [ist]
NATO

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Para duta besar NATO mengadakan pertemuan darurat Rabu malam atas permintaan Turki untuk membahas situasi di Irak, di mana gerilyawan menahan 80 warga Turki sebagai sandera, kata seorang pejabat NATO.

"Turki menjelaskan kepada sekutu lainnya mengenai situasi di (Kota Irak) Mosul dan penyanderaan warga Turki, termasuk konsul jenderal," kata pejabat itu.

Dia mengatakan, pertemuan itu diadakan untuk tujuan informasi dan tidak berada di bawah Pasal 4 perjanjian pendiri NATO, yang memungkinkan para anggota NATO untuk meminta konsultasi dengan sekutu ketika merasa integritas teritorialnya terancam.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Ban Ki-moon Rabu mendesak masyarakat internasional untuk bersatu mendukung Irak saat serangan kilat oleh kelompok jihad bersenjata menyapu lebih dekat ke Baghdad.

"Sekjen mendesak masyarakat internasional untuk bersatu dalam menunjukkan solidaritas dengan Irak, karena menghadapi tantangan keamanan yang serius ini," kata juru bicaranya dalam satu pernyataan.

Sekjen PBB menuntut "penghormatan penuh pada hukum kemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia dalam upaya melawan terorisme dan kekerasan di Irak," kata Juru bicara Stephane Dujarric menambahkan.

Ban mengecam keras lonjakan kekerasan dan memperingatkan bahwa "terorisme tidak harus diizinkan untuk berhasil dalam mengurai jalan menuju demokrasi di Irak."

Karena Negara Islam Irak dan Mediterania (ISIL) memulai serangan yang spektakuler di Mosul Senin, gerilyawan telah menguasai wilayah besar utara dan utara-tengah Irak, mendorong setengah juta orang meninggalkan rumah mereka.

Cepatnya ISIL dan sekutunya mencapai kemajuan setelah mereka Selasa merebut Mosul - sebuah kota berpenduduk dua juta orang - telah membuat khawatir pemerintah Irak.

Dujarric mengatakan lebih dari 2.500 keluarga yang mengungsi di dalam Mosul, sebagian besar tinggal di sekolah-sekolah dan masjid, dan diperkirakan 100.000 telah memasuki Arbil, ibu kota wilayah otonomi Kurdi di Irak utara.

Badan Pengungsi PBB UNHCR berada di tenda lapangan memobilisasi barang-barang bantuan penting, termasuk air bersih dan sanitasi, yang disampaikan.

"Sumber daya sangat terbatas," tambah juru bicara tersebut, dan mengatakan bahwa donor dana untuk keluarga pengungsi telah mencapai hanya 10 persen dari 103 juta dolar AS yang diperlukan.

Sementara itu Amerika Serikat Selasa menyatakan, kelompok garis keras yang baru-baru ini merebut kota terbesar kedua Irak berpotensi mengancam kestabilan seluruh kawasan Timur Tengah.

Washington juga menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi "yang sangat serius" di Irak.

"Sudah jelas bahwa ISIL bukan hanya ancaman bagi stabilitas Irak melainkan juga bagi seluruh kawasan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Jen Psaki dalam satu pernyataan resmi.

Psaki menekankan bahwa Washington mendukung "respon kuat yang terkoordinasi untuk membalas agresi kelompok militan."

Sementara itu juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest, mengecam gerilyawan dari kelompok ISIL dan mendesak Perdana Menteri Nuri al-Maliki berupaya lebih keras menyelesaikan "persoalan yang tak-terselesaikan itu".

Menurut Earnest, penyelesaian masalah kelompok garis keras akan menjadi bukti nyata bahwa al-Maliki memerintah "demi kepentingan semua warga Iraq."

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement