Kamis 12 Jun 2014 17:54 WIB

Protokol Internasional Penanganan Kekerasan Seksual dalam Konflik Diperkenalkan

William Hague, Menteri Luar Negeri Inggris diapit Pasangan Angelina Jolie dan Brad Pitt
Foto: AP
William Hague, Menteri Luar Negeri Inggris diapit Pasangan Angelina Jolie dan Brad Pitt

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri Luar Negeri Inggris William Hague dan Wakil Khusus PBB Angelina Jolie pada Rabu (11/6) meluncurkan protokol baru dalam pertemuan tingkat tinggi "Akhiri Kekerasan Seksual".  Protokol itu diharapkan dapat menyediakan panduan mengenai cara menyelidiki dan mendokumentasikan kekerasan seksual dalam konflik.

Protokol Internasional tersebut, yang pertama, bertujuan menetapkan standar internasional bagi cara menyelidiki dan mengumpulkan bukti dalam kekerasan seksual dalam konflik, yang diperkirakan menjadi alat untuk meningkatkan jumlah hukuman bagi pelaku kejahatan itu di seluruh dunia.

"Kami berharap ini akan memainkan peran penting dalam menghancurkan budaya kekebalan bagi pelaku kekerasan seksual dalam konflik. Kekebalan dari hukuman ini adalah faktor utama dalam mengapa kejahatan ini terus terjadi," kata William Hague.

Hague mengatakan protokol tersebut dapat membantu jaksa penuntut, pasukan polisi, personel pemelihara perdamaian dan masyarakat sipil untuk secara lebih baik mengumpulkan bukti dan melakukan penyelidikan kekerasan seksua dalam konflik, demikian laporan Xinhua. Dengan demikian, para pelaku kejahatan itu dapat diseret ke pengadilan.

Statistik memperlihatkan sebanyak 50.000 perempuan menjadi korban kekerasan seksual selama perang di Bosnia-Herzegovina, sementara jumlah korban di beberapa negara Afrika dari Sudan sampai Mesir dan bahkan Suriah di Timur Tengah tak diketahui. Sebabnya ialah kebanyakan korban memilih untuk tutup mulut, sehingga para pelaku tetap berkeliaran sedangkan korban dan keluarga mereka hancur.

"Mereka menggunakan perkosaan sebagai senjata terhadap musuh mereka, sehingga mereka memperkosa untuk membuat musuh mereka kalah ... Mereka memperkosa sebab mereka ingin orang bungkam dan menghancurkan impian mereka," kata Tawakkol Karman, seorang peraih Hadiah Nobel Perdamaian. Ia menambahkan itu adalah pesan terselubung buat pesaing, untuk membuat mereka merasa malu mengenai ketidak-mampuan mereka melindungi perempuan mereka, dan kemenangan kaum pria.

"Kita memerlukan tindakan sungguh-sungguh untuk menghukum para pelaku kejahatan kekerasan seksual, selain tanggung jawab internasional dalam menangani pangkal masalah kekerasan seksual dalam konflik bersenjata adalah mendasar untuk mencegah terulangnya perbuataan tersebut," katanya.

Itu memerlukan hubungan terpadu antara kegiatan politik dan keamanan dan kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan dan hak asasi manusia, termasuk kesetaraan gender dan ketentuan hukum dan keadilan, kata Karman.

Wanita peraih Nobel tersebut menyebut peraturan hukum sebagai salah satu unsur penting pencegahan konflik, pemelihara perdamaian, penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian.

Karman telah terlibat dalam kegiatan perlindungan perempuan dan hak anak perempuan, serta dorongan keselamatan dan pembangunan perdamaian di Yaman selama bertahun-tahun. Ia mendorong perempuan dan anak perempuan yang terpengaruh agar berbicara dengan lantang mengenai penderitaan mereka.

Penelitian memperlihatkan kekerasan seksual tetap menjadi fenomena negara yang mengancam nyawa dan mendarah-daging di Kenya. Laporan Survei Kesehatan Demografik Kenya (2008-2009) mengatakan hampir separuh perempuan yang berusia 15 sampai 49 tahun di negeri itu pernah mengalami kekerasan seksual atau fisik, atau keduanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement