REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Harga minyak mencatat kenaikan tertinggi sejak September 2013 menyusul kekerasan massal yang terjadi di Mosul, Irak. Dikuasainya kota kedua terbesar di Irak itu oleh kelompok Islam keras menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak.
Harga minyak jenis light berjangka menyentuh angka 106 dolar AS per barel, atau naik hampir dua persen dari harga sebelumnya. Kenaikan harga minyak ini pun berdampak pada melambungnya harga jual gas alam sebesar 1,7 persen menjadi 2,95 dolar AS per galon.
Dampaknya lagi, menurut sejumlah analis ekonomi di London, harga produk konsumtif pun akan terangkat naik. "Intinya, konsumen kembali dirugikan atas kisruh ini," kata para analis seperti dikutip CNN, Kamis (12/6).
Harga minyak Brent untuk penjualan Juli juga mengalami kenaikan hampir 50 sen dolar AS per barel. Harga minyak Brent naik 45 sen dolar AS menjadi 109,97 dolar per barel di London. Krisis di Irak dan faktor politik di Timur Tengah lainnya menjadi pemicu kenaikan ini.
Sepanjang tahun ini harga minyak terus mengalami kenaikan seiring tingginya permintaan. Pada sisi lain, negara-negara pengekspor minyak (OPEC) tidak menaikkan kapasitas produksi. Sebaliknya, produksi ke-12 anggota OPEC cenderung turun akibat krisis internal.
Dalam pertemuannya di Wina, Rabu (11/6), OPEC menyepakati untuk tidak menaikkan produksi minyak atau tetap 30 juta barel per hari. OPEC memasok 40 persen kebutuhan minyak global dengan perolehan pendapatan di atas 1 triliun dolar AS per tahun.
Irak memproduksi 3,3 juta barel minyak per hari, yang menjadikannya sebagai produsen minyak terbesar kedua di OPEC setelah Arab Saudi. Irak memiliki cadangan minyak yang sudah terbukti terbesar keempat di dunia.