REPUBLIKA.CO.ID, NAIROOBI -- Pedagang pinggir jalan di pinggiran Nairobi, Ibu Kota Kenya, menggelar usaha saat biaya hidup merangkak naik di negara Afrika Timur tersebut.
Banyak keluarga di Ibu Kota Kenya itu membeli makanan dari pedagang semacam itu saat mereka mencari potongan harga yang berkaitan dengan upaya memperoleh makanan di rumah mereka.
Kenaikan permintaan akan makanan pinggir jalan telah membuat jumlah orang yang terlibat dalam perdagangan tersebut meningkat.
Makanan yang dijajakan para pedagang itu meliputi "githeri" (campuran buncis dan tepung), buncis, roti gandum (chapati), donat, kentang goreng, bubur, sayuran dan "ugali" (makanan dari jagung).
Sebagian orang menyantap makanan tersebut di tempat para pedagang, sementara sebagian keluarga lagi membeli dan membawa pulang makanan untuk disiapkan dengan cara lebih baik.
Jane Ngatia adalah salah satu dari banyak pedagang makanan pinggir jalan di Nairobi, yang meraih keuntungan dari usaha semacam itu. Ngatia telah menjalani usahanya selama hampir dua tahun dan ia telah menyaksikannya tumbuh sementara permintaan meningkat.
"Usaha berjalan baik", kata Ngatia, yang berjualan di Komarock di bagian timur Ibu Kota Kenya, Nairobi, Jumat (14/6), sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad malam. "Semua makanan yang saya masak setiap hari dibeli oleh warga. Permintaan tinggi; kadangkala saya bahkan tak bisa memenuhi permintaan pasar."
Ibu empat anak itu memasak "githeri" dan buncis, yang habis dalam waktu singkat. "Kebanyakan keluarga datang untuk membeli 'githeri' dan buncis saat makan siang. Kedua penganan tersebut paling terkenal dan itu laha alasannya saya berhenti memasak makanan lain."
Di dapurnya di pinggir jalan, Ngatia hanya memasak makanan. Oleh karena itu, semua keluarga yang membeli makanan itu dapat datang dan menyiapkannya lebih baik.
"Jika saya memasak sampai mendidih lalu menggoreng, orang mungkin tak suka cara saya melakukannya sebab mereka memiliki pilihan, misalnya, sebagian mungkin ingin menambahkan kentang goreng atau bermacam bumbu," wanita tersebut menjelaskan.
Wanita pengusaha itu menjual "githeri" dengan harga 0,28 dolar AS per gelas. Sebaliknya, buncis dijula dengan harga 0,22 dolar per gelas.
"Sebagian orang datang dan membeli bahkan sampai lima gelas 'githeri' atau buncis. Permintaan biasanya tinggi dari Jumat sampai akhir pekan, ketika kebanyakan anggota keluarga berada di rumah," kata Ngatia, yang pada hari yang bagus mampu berjualan sampai 30 hari.
Dari kedua makanan tersebut, menurut dia, "githeri" adalah bahan yang paling terkenal.
"Sebagian keluarga membeli sampai 10 gelas 'githeri' lalu pergi dan menyimpannya di lemari es. Mereka kemudian akan mengambil dari sana dan menggorengnya sebelum menyantapnya. Itu membuat pekerjaan jadi lebih mudah."
Ngatia mengakui bahwa salah satu alasan mengapa usahanya mengalami "booming" ialah naiknya harga makanan di negara Afrika Timur tersebut.
Satu karung buncis seberat 90 kilogram dijual dengan harga antara 72 dan 82 dolar sedangkan satu kantung jagung dijual rata-rata dengan harga 36 dolar. Terjadi kenaikan sedikitnya 2,3 dolar untuk kedua sereal itu.
Membeli dua paket gandum, dalam kaleng dua kilogram, sebagaimana dilakukan kebanyakan keluarga, menaikkan harga. Satu kaleng gandum seberat dua kilogram dijual dengan harga rata-rata 1,03 dolar, sedangkan satu kaleng dua kilogram dijual seharga 1,8 dolar.
Oleh karena itu, makanan pinggir jalan menjadi pilihan lebih murah buat kebanyakan keluarga. "Mereka tak harus buang waktu untuk memasak makanan, tindakan yang menaikkan biaya sebab orang harus membeli bahan bakar," kata Ngatia. Ia menambahkan itu lebih murah buat dia sebab ia memasak dalam jumlah banyak.
Namun, meskipun membeli makanan di pinggir jalan menghemat biaya, ahli gizi Janet Musunga menegeluarkan peringatan yang menentang kebiasan itu. Ia mengatakan makanan tersebut mungkin tidak sehat sebab sebagian pedagang mungkin tak menanganinya secara layak karena mereka berusaha memenuhi permintaan yang meningkat.