Kamis 19 Jun 2014 15:52 WIB

Insinyur Perempuan Pertama di Australian Academy of Science Berasal dari Indonesia

Rose
Foto: Istimewa
Rose

REPUBLIKA.CO.ID, NEW SOUTH WALES -- Indonesia boleh berbangga. Rose Amal, ahli bidang teknik kimia asal Indonesia, mencetak prestasi luar biasa di Australia sebagai insinyur perempuan pertama yang diterima di badan ilmu pengetahuan bergengsi Australian Academy of Science. Ia berharap bisa menyumbangkan ilmunya tak hanya di Australia, tapi juga di Indonesia.

"Saya kaget juga," ujar Rose diiringi tawa kecil saat ditanya oleh Dina Indrasafitri dari ABC perihal statusnya sebagai insinyur perempuan pertama di Academy of Science, badan penasehat bidang ilmu pengetahuan independen di Australia yang sudah berdiri selama 60 tahun.

"Ada banyak perempuan [di lembaga itu] tapi kebanyakan ilmuwan [scientis]. Saya tidak tahu soal itu sampai saat presiden Academy of Science berkata 'Rose, tahukah kamu, kamu insinyur perempuan pertama yang terpilih?" tuturnya, belum lama ini.

Rose, yang berasal dari Medan, bercerita bahwa sejak SMA ia sudah tertarik dengan ilmu kimia, fisika dan matematika. Orang tuanya sempat menyarankannya menjadi dokter, namun ia tak terlalu menyukai biologi.

Ia pun akhirnya memilih Australia sebagai tempat melanjutkan pendidikannya. Rose sempat juga mempertimbangkan Amerika Serikat dan Kanada, namun ia merasa Australia lebih cocok karena dekat dengan Indonesia.

Pada Oktober 1983, Rose tiba di benua kangguru, dan diterima di jurusan teknik kimia University of New South Wales (UNSW) tahun berikutnya. Setelah merampungkan gelar S1 atau bachelor, ia ditawari beasiswa untuk meraih gelar PhD (Doktor). Meski saat itu ia ditawari pekerjaan di Singapura, namun Rose memilih melanjutkan pendidikannya.

Kemudian, ia bekerja di badan Australian Nuclear Science Technology Organization (ANSTO) selama sekitar 18 bulan, sebelum akhirnya melamar untuk posisi akademik di fakultas teknik kimia UNSW pada tahun 1992, dan diterima.

Bagi mereka yang tak akrab dengan ilmu kimia, mungkin bidang-bidang yang tengah digeluti oleh Rose, yaitu antara lain photocatalysis dan nanoteknologi, sulit untuk dipahami. Namun, terapan bidang tersebut sebenarnya amat berpotensi untuk digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari, karena menyangkut pemurnian dan pembersihan dua unsur yang penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia: air dan udara.

"Photocatalysis katalis mengubah energi matahari menjadi energi kimia," jelas Rose, "Saat saya memulai kerja saya dalam bidang photocatalysis, saya meneliti tentang bagaimana kita bisa menggunakan cahaya matahari untuk menguraikan polutan di air atau bahan organik di udara."

Contoh-contoh polutan atau organik di udara, misalnya parfum dan bahan pembersih yang bisa terhirup. "Reaksi kimia sudah banyak digunakan di industri, untuk membersihkan air. Biasanya bahan kimia digunakan untuk menghancurkan polutan di air, jadi pada dasarnya penelitian saya mencari tahu apakah kita bisa memanfaatkan matahari untuk proses ini, karena di Australia banyak sinar matahari," jelas Rose.

Contoh penerapan yang sudah ada, misalnya di beberapa negara seperti Jepang, zat titanium dioksida disisipkan ke dalam batu bata yang digunakan di trotoar atau dinding. Zat tersebut kemudian melakukan proses pembersihan dengan bantuan sinar matahari, tuturnya.

Di sisi lain, harus diusahakan juga agar titanium dioksida yang digunakan untuk proses pembersihan ini tidak terminum atau terhirup. Dalam proses pembersihan air, Rose sedang meneliti cara untuk menjadikan titanium dioksida memiliki sifat seperti magnet, agar bisa dipisahkan dengan mudah dari air dengan menggunakan medan magnet.

Namun, menurutnya, proses pemurnian air dengan photocatalysis mungkin terlalu mahal untuk diterapkan dalam skala besar dan untuk kebutuhan sehari-hari, contohnya untuk pemurnian air minum di kota-kota besar di Indonesia.

Dalam kasus Indonesia, mungkin lebih cocok munggunakan proses koagulasi, yang melibatkan zat koagulan. Teknologi ini, menurut Rose, juga digunakan di Australia

Proses kimia yang melibatkan partikel-partikel yang begitu kecil terkait dengan nanoteknologi, yaitu teknologi yang prosesnya terjadi dalam skala yang amat kecil, melibatkan materi bernama nanomaterial, dengan ukuran antara 1 hingga 100 nanometer. Satu nanometer ukurannya sepersemilyar meter.

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, banyak yang menyerukan kewaspadaan terhadap nanoteknologi, karena kekhawatiran akan bahaya keracunan, dan satu hal yang tengah Rose dalami sekarang adalah cara meningkatkan keamanan nanopartikel yang digunakan dalam proses nanoteknologi.

Selain untuk pemurnian air dan udara, proses photocatalysis juga bisa digunakan untuk hal-hal lain. Rose saat ini sedang meneliti cara menggunakan photocatalysis untuk mengurangi zat karbon dioksida (CO2), yang dikenal sebagai gas rumah kaca.

"...Salah satu penelitian yang sedang saya lakukan saat ini adalah mencoba menangkap cahaya dan panas matahari untuk mengubah karbon dioksida menjadi hidrokarbon. Dan ini akan memiliki banyak potensi," jelasnya,

"Karena CO2 selama ini adalah gas yang tak diinginkan, dan bila kita bisa mengubahnya jadi hidrokarbon, itu menjadi sumber bahan bakar..."

Tetap Rindu Kebersamaan Khas Asia

Meskipun sudah puluhan tahun di Australia dan sudah berkebangsaan Australia, Rose merasa di dalam dirinya ada hal-hal yang khas Indonesia, atau Asia, seperti kebiasaan menghormati yang lebih tua.

Sesekali ia pulang ke Medan untuk mengunjungi saudara-saudaranya atau berkumpul dengan orang tuanya yang kini tinggal di Singapura.

"Saya dekat dengan keluarga saya sendiri, anak sendiri, namun saya merasakan kurangnya kedekatan pada keluarga besar. Ini saya rasakan saat pulang [ke Indonesia]," ucapnya, "Bahkan anak-anak saya pun merasakan itu."

Selain itu, ada juga sifat rendah hati, yang menurut Rose terkadang bisa jadi kekuatan, namun bisa jadi kelemahan juga.

"Saya merasa saat dalam rapat saya biasanya tidak terlalu menonjolkan diri, dan tidak angkat bicara kecuali memang saatnya bicara atau menunjuk tangan," ceritanya.

Menurut Rose, diterimanya dirinya dalam Academy of Science dapat membantu dirinya memberi sumbagnan lebih banyak pada dunia ilmu di Indonesia, karena lembaga tersebut memiliki kerja sama erat dengan pemerintah Indonesia.

“Bahkan, di Canberra mereka berkata pada saya bahwa mereka tengah melihat beberapa karya ilmiah yang ditulis oleh pemerintah, dan memberikan saran,” ceritanya, “Dan mungkin mereka butuh nasehat saya karena saya masih bisa membaca bahasa Indonesia.”

Saat ini, sebagai pekerja di bidang akademik, Rose sering membimbing mahasiswa, mulai dari yang mengejar gelar S1 hingga S3, termasuk yang berasal dari Indonesia. “Saat ini, ada dua, satu dari ITB (Institut Teknologi Bandung) dan satu dari UI (Universitas Indonesia),” ceritanya.

Namun, ia tak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dengan mahasiswa-mahasiswa itu. “Tidak boleh,” ujarnya sambil tertawa kecil.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/2014-06-19/insinyur-perempuan-pertama-di-australian-academy-of-science-berasal-dari-indonesia/1329856
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement