REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ide Indonesia Mengglobal (IM) cukup menantang: mewujudkan mimpi anak-anak muda Indonesia kuliah di luar negeri, termasuk di universitas top dunia. Tahun ini, gerakan IM memiliki puluhan mentor termasuk dari Melbourne University di Australia.
Adalah Veny Johanna dan Martin Tjioe, inisiator awal IM. Mereka berkaca dari pengalaman mereka sendiri. Misalnya, bagaimana membuat esai yang baik; bagaimana cara mendapat beasiswa; serta bagaimana memenuhi kualifikasi akademis.
Keempat anak muda ini menyadari akses informasi adalah faktor penting di balik minimnya jumlah siswa Indonesia di universitas terbaik dunia seperti Harvard University di Amerika, Oxford University di Inggris, atau Australian National University (ANU) di Australia, dibanding siswa dari negara Asia lainnya.
Apalagi, para siswa dari negara Asia lain tersebut dapat masuk ke kampus-kampus idaman lewat informasi dari sejumlah forum lokal yang ada di negara masing-masing.
Kepada Nurina Savitri dari ABC International, Stevia mengungkapkan, “Kita merasa kesulitan mendapat sumberdaya yang gratis. Karena biaya juga mahal, kalau kita butuh informasi dari luar. Kenapa orang-orang dari negara lain punya akses pendidikan seperti itu? Kenapa dari Indonesia, bangsa yang begitu besar, tapi kita malah nggak punya akses ke informasi seperti itu?”
“Misalnya di Hongkong mereka ada forum sendiri, di Vietnam pun ada forum sendiri, di Korea, semuanya ada. Kenapa kita nggak ada? Makanya kita memulai gerakan ini. Harapannya adalah generasi berikutnya itu tidak punya kesulitan yang sama dengan kita, “ ujar gadis berusia 25 tahun ini.
Berawal dari sesi diskusi sederhana, inisiatif yang digalang keempatnya mendapat respons positif.
Berbekal animo itu, keempat sekawan ini merasa terpanggil untuk memberi lebih. Akhirnya, mereka berbagi dengan menulis secara lengkap pengalaman mereka melalui dunia maya dan merekrut lebih banyak relawan lulusan kampus-kampus top dunia untuk bersama-sama berbagi.
Saat ini, tim inti IM sudah mencapai 17 orang, termasuk 4 orang pendiri. Mereka memiliki program tahunan berupa seminar dan diskusi. Lewat website indonesiamengglobal.com, kini, sekumpulan anak muda ini berusaha menjadi jembatan bagi mereka yang ingin melanglang buana, mengembangkan potensi diri dan menggapai mimpi menuntut ilmu di kampus-kampus teratas dunia.
“Suatu hari kita ingin menjadi portal nomor satu untuk mahasiswa atau siswa-siswi yang ingin belajar di luar negeri. Dan kita adalah resource pertama yang mereka ingat. ‘Oh dulu saya pernah ambil dari Indonesia Mengglobal dan itu sang membantu,” harap Stevia yang kini bekerja untuk konsultan.
Mulai tahun lalu, Stevia, Donny dan kawan-kawan mengadakan program ‘Mentorship’ atau program bimbingan bagi mereka yang benar-benar ingin menembus ketatnya persaingan untuk masuk ke universitas-universitas elit.
“Apa sih bentuk bantuan yang paling nyata yang bisa kita berikan? Nah kita berpikirnya ‘mentorship’ ini, yaitu kita memasangkan para calon mahasiswa yang ingin melamar kuliah di luar negeri dengan para alumni atau mahasiswa yang pernah kuliah di luar negeri,” jelas Donny.
Di tahun pertamanya, IM memasangkan 15 pasang mentor dan peserta bimbingan yang disebut ‘mentee’. Mereka mengatur pertemuan online secara intensif selama 2-3 bulan untuk mendiskusikan berbagai hal mengenai kesiapan mendaftar sekolah, seperti tips menyusun esai yang baik.
Tahun 2014 ini, IM memiliki 30 pasang mentor, termasuk Tirza Gracia dari University of Melbourne dan Astri Kartika El Nur dari Monash University, serta ‘mentee’ yang telah diseleksi dari sekitar 200 calon peserta yang mendaftar.
“Kita tidak membatasi dari segi negara, boleh mau sekolah kemana pun, boleh daftar program ini,” imbuh Donny.
“Kita memberikan semacam bantuan atau beasiswa sebesar 100 dolar untuk masing-masing ‘mentee’. Ini digunakan untuk biaya pendaftaran atau tes TOEFl yang mungkin cukup membebani. Uangnya didapat dari para penyumbang, individu, para pembaca atau kontributor Indonesia Mengglobal mulai dari jumlah yang kecil misalkan 20 dolar,” jelas Donny, lulusan Harvard yang kini bekerja untuk Bank Dunia.
Pengalaman belajar di Australia
Tasha, panggilan akrab Natasha, memiliki kesan mendalam selama belajar dan tinggal di Australia.
“Sangat menarik belajar di Australia. Orang di sana kritis terhadap Indonesia. Anehnya, mereka sangat mengetahui budaya kita, bahkan bahasa Indonesia di sana banyak dijadikan kurikulum di sekolah. Sebaliknya, banyak orang Indonesia yang tak terlalu paham soal Australia,” ujar gadis yang kini terlibat dalam Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) .
“Tak ada yang tak mungkin, termasuk sekolah di kampus-kampus top. Asalkan kita punya kemauan dan tekad yang kuat, Nah, di Indonesia Mengglobal ini, misi kami seperti itu,” tegas Tasha. Menurutnya, belajar di Australia atau di negara lain memiliki dampak positif bagi perkembangan diri seseorang.
Hal senada juga disampaikan Donny, “Manfaat paling jelas jika kita terekpos oleh kehidupan di negara lain adalah perspektif kita makin kaya. Kalau kita pernah di tinggal luar negeri, kita jadi benar-benar tahu, misalnya pemerintah yang bagus itu seperti apa sih, apa sih hak-hak warga negara yang di luar negeri ada tapi tidak kita rasakan di Indonesia?bagaimana sih perekonomian yang baik?kira-kira seperti itu,” sambungnya menutup pembicaraan.