Sabtu 21 Jun 2014 21:07 WIB

Indonesia Mengglobal Bantu Mahasiswa Mendunia

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ide Indonesia Mengglobal (IM) cukup menantang: mewujudkan mimpi anak-anak muda Indonesia kuliah di luar negeri, termasuk di universitas top dunia. Tahun ini, gerakan IM memiliki puluhan mentor termasuk dari Melbourne University di Australia.

Tim Indonesia Mengglobal, Martin Kurnadi (berbaju putih), dalam acara diskusi di Universitas Padjajaran. (Foto: Indonesia Mengglobal)
Lewat semangat berbagi, gerakan IM ingin menunjukkan bahwa kesempatan bersekolah di kampus internasional bergengsi bisa diraih siapa saja asal memiliki motivasi dan kesanggupan bekerja keras.

Adalah Veny Johanna dan Martin Tjioe, inisiator awal IM. Mereka berkaca dari pengalaman mereka sendiri. Misalnya, bagaimana membuat esai yang baik; bagaimana cara mendapat beasiswa; serta bagaimana memenuhi kualifikasi akademis. 

Keduanya terinspirasi untuk berbagi pengalaman kepada anak muda Indonesia lainnya agar tak menemui hambatan serupa yang mereka alami. Veny dan Martin kemudian mengajak Stevia Angesty dan Donny Eryastha untuk membentuk IM pada awal tahun 2012.

Keempat anak muda ini menyadari akses informasi adalah faktor penting di balik minimnya jumlah siswa Indonesia di universitas terbaik dunia seperti Harvard University di Amerika, Oxford University di Inggris, atau Australian National University (ANU) di Australia, dibanding siswa dari negara Asia lainnya.

Apalagi, para siswa dari negara Asia lain tersebut dapat masuk ke kampus-kampus idaman lewat informasi dari sejumlah forum lokal yang ada di negara masing-masing.

Kepada Nurina Savitri dari ABC International, Stevia mengungkapkan, “Kita merasa kesulitan mendapat sumberdaya yang gratis. Karena biaya juga mahal, kalau kita butuh informasi dari luar. Kenapa orang-orang dari negara lain punya akses pendidikan seperti itu? Kenapa dari Indonesia, bangsa yang begitu besar, tapi kita malah nggak punya akses ke informasi seperti itu?”

“Misalnya di Hongkong mereka ada forum sendiri, di Vietnam pun ada forum sendiri, di Korea, semuanya ada. Kenapa kita nggak ada? Makanya kita memulai gerakan ini. Harapannya adalah generasi berikutnya itu tidak punya kesulitan yang sama dengan kita, “ ujar gadis berusia 25 tahun ini.

Berawal dari sesi diskusi sederhana, inisiatif yang digalang keempatnya mendapat respons positif.

Berbekal animo itu, keempat sekawan ini merasa terpanggil untuk memberi lebih. Akhirnya, mereka berbagi dengan menulis secara lengkap pengalaman mereka melalui dunia maya dan merekrut lebih banyak relawan lulusan kampus-kampus top dunia untuk bersama-sama berbagi.

Saat ini, tim inti IM sudah mencapai 17 orang, termasuk 4 orang pendiri. Mereka memiliki program tahunan berupa seminar dan diskusi. Lewat website indonesiamengglobal.com, kini, sekumpulan anak muda ini berusaha menjadi jembatan bagi mereka yang ingin melanglang buana, mengembangkan potensi diri dan menggapai mimpi menuntut ilmu di kampus-kampus teratas dunia.

“Suatu hari kita ingin menjadi portal nomor satu untuk mahasiswa atau siswa-siswi yang ingin belajar di luar negeri. Dan kita adalah resource pertama yang mereka ingat. ‘Oh dulu saya pernah ambil dari Indonesia Mengglobal dan itu sang membantu,” harap Stevia yang kini bekerja untuk konsultan.

Salah satu sesi dalam program 'mentorship'. Para mentor dan 'mentee' saling berdiskusi mengenai tips agar lolos seleksi kampus bergengsi. (Foto: Indonesia Mengglobal)

Mulai tahun lalu, Stevia, Donny dan kawan-kawan mengadakan program ‘Mentorship’ atau program bimbingan bagi mereka yang benar-benar ingin menembus ketatnya persaingan untuk masuk ke universitas-universitas elit.

“Apa sih bentuk bantuan yang paling nyata yang bisa kita berikan? Nah kita berpikirnya ‘mentorship’ ini, yaitu kita memasangkan para calon mahasiswa yang ingin melamar kuliah di luar negeri dengan para alumni atau mahasiswa yang pernah kuliah di luar negeri,” jelas Donny.

Di tahun pertamanya, IM memasangkan 15 pasang mentor dan peserta bimbingan yang disebut ‘mentee’. Mereka mengatur pertemuan online secara intensif selama 2-3 bulan untuk mendiskusikan berbagai hal mengenai kesiapan mendaftar sekolah, seperti tips menyusun esai yang baik.

Tahun 2014 ini, IM memiliki 30 pasang mentor, termasuk Tirza Gracia dari University of Melbourne dan Astri Kartika El Nur dari Monash University, serta ‘mentee’ yang telah diseleksi dari sekitar 200 calon peserta yang mendaftar.

“Kita tidak membatasi dari segi negara, boleh mau sekolah kemana pun, boleh daftar program ini,” imbuh Donny.

Laman 'crowdfunding' yang digagas IM untuk membantu meringankan para 'mentee' dalam membayar biaya pendaftaran atau proses seleksi lainnya.
Tak hanya memberi bimbingan, gerakan yang diprakarsai Veny dan Martin ini juga mengembangkan pendanaan online lewat donatur yang berkesanggupan untuk membantu, atau lazim disebut ‘crowdfunding’.

“Kita memberikan semacam bantuan atau beasiswa sebesar 100 dolar untuk masing-masing ‘mentee’. Ini digunakan untuk biaya pendaftaran atau tes TOEFl yang mungkin cukup membebani. Uangnya didapat dari para penyumbang, individu, para pembaca atau kontributor Indonesia Mengglobal mulai dari jumlah yang kecil misalkan 20 dolar,” jelas Donny, lulusan Harvard yang kini bekerja untuk Bank Dunia.

 

Pengalaman belajar di Australia

Sebelum befrgabung dengan ‘Indonesia Mengglobal’ sebagai tim inti, Natasha Karina Ardiani, 24 tahun, menempuh pendidikan pasca sarjana di ANU.

Tasha, panggilan akrab Natasha, memiliki kesan mendalam selama belajar dan tinggal di Australia.

“Sangat menarik belajar di Australia. Orang di sana kritis terhadap Indonesia. Anehnya, mereka sangat mengetahui budaya kita, bahkan bahasa Indonesia di sana banyak dijadikan kurikulum di sekolah. Sebaliknya, banyak orang Indonesia yang tak terlalu paham soal Australia,” ujar gadis yang kini terlibat dalam Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) .

Natasha (dua dari kanan, berpakaian krem-oranye) bersama rekan-rekanya di Australian National University. (Foto: dokumentasi pribadi Natasha)
Baginya, IM adalah wadah yang pas untuk memperbaiki perasaan ‘inferior’ atau rendah diri yang seringkali dirasakan orang Indonesia.

“Tak ada yang tak mungkin, termasuk sekolah di kampus-kampus top. Asalkan kita punya kemauan dan tekad yang kuat, Nah, di Indonesia Mengglobal ini, misi kami seperti itu,” tegas Tasha. Menurutnya, belajar di Australia atau di negara lain memiliki dampak positif bagi perkembangan diri seseorang.

“Kita jadi punya pandangan luas terhadap suatu masalah,” tuturnya.

Hal senada juga disampaikan Donny, “Manfaat paling jelas jika kita terekpos oleh kehidupan di negara lain adalah perspektif kita makin kaya. Kalau kita pernah di tinggal luar negeri, kita jadi benar-benar tahu, misalnya pemerintah yang bagus itu seperti apa sih, apa sih hak-hak warga negara yang di luar negeri ada tapi tidak kita rasakan di Indonesia?bagaimana sih perekonomian yang baik?kira-kira seperti itu,” sambungnya menutup pembicaraan.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement