Senin 23 Jun 2014 19:58 WIB

Nobar Debat Capres Ala Mahasiswa Indonesia di Melbourne

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Bagi warga Indonesia di Australia, menonton debat capres dilakukan dengan live streaming. Meski di Melbourne waktu penayangan debat capres hampir menjelang pergantian hari, tetapi hal ini tidak menjadi kendala. Mereka antusias untuk tetap menonton.

Sekelompok pemuda menggelar nonton bareng, atau nobar, yang digelar Ahad  (22/6) malam di kawasan Docklands, Melbourne. Miranda Anwar, mahasiswi di perguruan tinggi William Anglis, menjadi tuan rumah nonton bareng yang ia gelar di apartemen-nya.

Laras dan Miranda (bawah, kiri ke kanan); Gesha, Erin, Markus (atas, kiri ke kanan). Foto: Erwin Renaldi
Sepekan sebelumnya, Miranda memposting ajakan untuk menonton bareng debat capres di rumahnya di akun Facebook-nya. Lima teman yang ia kenal lewat organisasi kepemudaan Australia Indonesia Youth Association (AIYA) pun meresponsnya.
Menonton bareng ini memang tidak mudah untuk diadakan di Melbourne, karena dimulai hampir tengah malam.

Marcus Tantau, mahasiswa ilmu politik di Monash University yang sudah sering ke Indonesia untuk berlibur dan magang. mengatakan kalau menonton debat presiden ini sangat penting baginya.

"Pertama karena Indonesia adalah tetangga terdekat Australia dan hubungan diantara kedua negara jadi fokus utama pemerintah Australia. Kedua karena malam ini khusus membahas kebijakan luar negeri kedua kandidat," ujar Marcus, baru-baru ini.

Nonton bareng debat capres hingga tengah malam. Foto: Erwin Renaldi
Dalam debat calon presiden hari Minggu kemarin, Joko Widodo (Jokowi) menanyakan soal apa pendapat Prabowo Subianto soal hubungan Indonesia dengan Australia.

Prabowo mengatakan kebijakannya nanti adalah ingin tetap bersahabat dengan Australia, meski mungkin Australia memiliki ketakutan atau phobia dengan posisi Indonesia. Menurutnya hal tersebut perlu diatasi dengan memumpuk rasa saling percaya, atau trust.

Jokowi yang tampil menggunakan batik malam itu menegaskan pentingnya diplomasi budaya dan pendidikan di antara kedua negara.

"Tapi sebenarnya jika melihat jawaban soal penanganan masalah perdagangan manusia (human trafficking) atau soal ketegangan di Laut Cina Selatan, keduanya masih memberikan jawaban yang terlalu umum," ujar Ghaisany Sjah, mahasiswa ilmu politik dan hubungan internasional dari University of Melbourne.

"Beberapa jawaban juga terdengar seperti sudah pernah diungkapkan sebelumnya, jadi tidak ada yang baru." ujar Ghaisany Sjah lagi.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement