REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Dunia mengecam vonis pengadilan Mesir bagi tiga jurnalis Al Jazeera, Senin. Keputusan hakim Mohamed Nagui Shehata itu menjadi pukulan bagi kebebasan berbicara di Mesir.
Bagi AS, vonis tersebut menjadi teguran yang memalukan. Sebab, pada malam sebelum persidangan digelar, Ahad, Menteri Luar Negeri AS John Kerry berkunjung ke Mesir. Saat itu Kerry mengonfirmasi akan memulihkan bantuan militer dan ekonomi untuk Mesir.
Dilansir CNN, Selasa (24/6), Kerry mengatakan dia secara khusus membicarakan soal jurnalis Al Jazeera dengan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi. Kerry tidak menjelaskan hasil pembicaraannya itu.
Dia mengatakan mereka mendiskusikan pentingnya peran aktif masyarakat sipil, kebebasan pers, hukum dan demokrasi. Menurut dia, El-Sisi harus mempertimbangkan segala cara, termasuk grasi bagi para jurnalis.
Menanggapi vonis, Kerry mengatakan hukuman yang mengerikan dan kejam itu merupakan kemunduran bagi transisi politik Mesir.
"Ketidakadilan seperti ini jelas tidak bisa diterima jika Mesir ingin maju dengan cara yang Presiden el-Sisi dan Menteri Luar Negeri Sameh Shoukry katakan pada saya kemarin," katanya.
Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan pemerintah mengutuk keras hukuman itu karena mencemooh kebebasa media. Perdana Menteri Inggris David Cameron juga mengungkapkan hal serupa.
Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop mengatakan pemerintah Australia tidak bisa memahami bukti yang dibawa ke pengadilan. Australia, Belanda dan Inggris telah menugaskan duta besarnya untuk meminta penjelasan atas bukti yang dihadirkan.
Peter Greste dan Mohamed Fahmy diputus tujuh tahun penjara. Sedangkan Baher Mohamed divonis 10 tahun.
Mereka dianggap membahayakan keamanan nasional Mesir, memalsukan berita dan membantu teroris. Ketiganya telah ditahan sejak Desember. Selain mereka, empat mahasiswa dan aktivis dalam kasus itu dihukum tujuh tahun penjara.
Fahmy mempunyai kewarganegaraan ganda, yakni Mesir dan Kanada. Menteri Luar Negeri Kanada Lynne Yelich mengatakan sangat kecewa terhadap putusan itu.
Vonis 10 tahun penjara juga diberikan bagi jurnalis Inggris Sue Turton dan Dominic Kane dan wartawan Belanda Rena Netjes yang menjalani pengadilan secara in absentia (tidak hadir).
Ruang pengadilan yang dipadati reporter, diplomat dan kerabat terdakwa marah atas putusan majelis hakim. Keluarga dan teman-teman tidak mampu menahan air mata mereka.
"Mereka akan membayar ini. Saya janji, mereka akan membayarnya. Ini bukan sistem. Ini bukan negara," ujar Fahmy berteriak, dikutip dari The Guardian.
Dua adik Greste yang datang dari Australia, Mike dan Andrew tampak terpukul. Dia mengatakan sulit memahami bagaimana pengadilan bisa mengambil keputusan itu.
Dalam sidang, jaksa penuntut umum tidak mampu menghadirkan bukti-bukti kuat. Bukti yang diberikan jaksa, termasuk rekaman peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan politik Mesir atau Al Jazeera. Bukti tersebut antara lain video kuda berlari yang difilmkan oleh Sky News Arabia, sebuah lagu oleh penyanyi Australia Gotye dan sebuah film dokumenter BBC dari Somalia.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International dalam pernyataan resmi menyebut putusan tersebut hari gelap bagi kebebasan pers.Amnesty mengatakan pada 12 sesi pengadilan jaksa gagal menghadirkan bukti kuat yang menghubungkan jurnalis dengan sebuah organisasi terorisme atau membuktikan mereka telah memalsukan berita.
Sumber pengadilan mengatakan kepada Reuters ketiga jurnalis bisa mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan pengampunan itu masih mungkin.
Jaksa penuntut umum Mesir pekan lalu memerintahkan pembebasan wartawan Al Jazeera lain Abdullah al-Shamy dengan alasan kesehatan setelah dia melakukan mogok makan lebih dari 130 hari.
Kepala hak asasi manusia PBB Navi Pillay mengatakan reputasi Mesir, terutama reputasi pengadilan sebagai institusi independen dipertaruhkan. Menurutnya, ada risiko ketidakadilan menjadi norma di Mesir.
Secara keseluruhan ada 20 orang yang menjalani vonis pada Senin, termasuk 14 warga Mesir yang didakwa terlibat Ikhwanul Muslimin.