REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Majelis Nasional Tunisia pada Rabu menyetujui tanggal-tanggal yang diajukan bagi penyelenggaraan pemilihan parlemen dan presiden tahun ini di bawah kesepakatan untuk mengakhiri krisis politik.
Setelah berlangsungnya perundingan selama berbulan-bulan di antara partai-partai politik Tunisia, majelis setuju bahwa pemilihan legislatif akan dilakukan pada 26 Oktober sementara putaran pertama pemilihan presiden akan dilangsungkan pada 23 November.
"Ini adalah langkah bersejarah. Kami senang kalender pemilihan sudah ditetapkan, karena ini memberi harapan bagi masa depan Tunisia," kata anggota parlemen Mahmoud Baroudi kepada AFP.
Pemilihan umum itu akan memperteguh kesepakatan yang dicapai pada Januari lalu dalam mengakhiri krisis politik yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.
Krisis itu telah menghadang proses peralihan demokratis di tempat lahirnya gelombang revolusi "Arab Spring".
Sejak terjadinya revolusi --yang menggulingkan penguasa mutlak yang telah lama memimpin negara itu, Zine El Abidine Ben Ali-- pada Januari 2011, rakyat Tunisia telah menanti-nanti pembentukan lembaga kenegaraan yang permanen.
Menjelang berlangsungnya debat menyangkut undang-undang pemilihan umum, ketua majelis Mustapha Ben Jaafar menekankan "kepentingan mendesak ... pada tingkat terbaru ini dalam proses konstituen."
Para partai politik mencapai kesepakatan tentang aturan pemilihan itu pada awal bulan ini, yaitu bahwa pemilihan parlemen akan dilangsungkan sebelum pemilihan presiden.
Komisi penyelenggara pemilihan (ISIE) telah mengeluarkan imbauan kepada partai-partai untuk segera mencapai kesepakatan karena waktu yang sempit serta syarat yang ditetapkan undang-undang baru negara tersebut bahwa kedua pemilihan diselenggarakan pada tahun 2014.
Kamel Toujani, anggota ISIE, mengatakan pengesahan undang-undang pemilihan sebagai hal yang melegakan.
"Situasinya semakin jelas. Sekarang kita harus terus bekerja. Tantangan terbesar adalah menyangkut pendaftaran" para pemilih, katanya kepada AFP.
Sekira 7,5 juta warga Tunisia memiliki hak pilih, namun hanya 4,1 juta di antaranya yang terdaftar pada 2011 --pemilihan umum pertama yang dilakukan setelah kerusuhan menggulingkan Ben Ali serta memicu pemberontakan serupa di seluruh kawasan.
Pada pemilihan umum 2011, partai Islam Ennahda memenangi sebagian besar kursi di majelis, yang akan digantikan oleh parlemen permanen pada tahun berikutnya.
Namun, proses tersebut tertunda sekian lama akibat krisi politik.
Krisis tersebut mengalami puncaknya saat terjadinya pembunuhan tahun lalu terhadap dua anggota parlemen oposisi yang diduga dilakukan oleh para gerilyawan Islamis.
Berdasarkan kesepakatan yang akhirnya bisa dicapai untuk memecah kebuntuan, parlemen meratifikasi undang-undang dasar yagn baru pada Januri dan Ennahda menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintahan sementara, yang diisi oleh sosok-sosok dari kalangan independen.