Selasa 01 Jul 2014 21:41 WIB

Menengok Myanmar yang Mulai Bangkit dari Kemiskinan

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, YANGOON -- Di masa jayanya, Myanmar adalah salah negara yang maju di kawasan Asia. Yangon menjadi penghubung bisnis di antara kota-kota di Asia dan dunia. Namun, masa jaya tersebut telah lewat. Myanmar, yang terletak antara dua raksasa kembar Asia--India dan China--tetapi ekonominya jauh tertinggal.

Setengah abad pemerintahan militer dan stagnasi ekonomi menyebabkan jutaan rakyat Myanmar terbelenggu kemiskinan.

Jalanlah di sekitar kawasan Yangon yang bersejarah, anda akan menyadari segala sesuatunya bisa begitu berbeda. Pada masa keemasannya pada sekitar tahun 1920, kota ini merupakan kota terpenting di kawasan.

Rangoon, sebagaimana sebelumnya dikenal, merupakan pusat perbankan dan bisnis untuk seluruh Asia dan memiliki penduduk yang multikultur daripada New York. Bangunan perkantoran berdesain arsitektur art deco berdiri sepanjang jalan di tepi sungai dan perahu-perahu berlayar mengakut penumpang kaya menuju dan dari Eropa.

"Pada masa itu, bila anda ingin terbang dari London ke Melbourne, anda harus pergi melalui Rangoon, " penulis dan sejarawan Thant Myint-U mengatakan ke koresponden internasional.

Rangoon pada jalur yang tepat dengan menjadi penghubung kota-kota yang berkembang seperti Hongkong, Bangkok atau Kuala Lumpur. Namun sejarah tidak ramah kepada rakyat Myanmar.

Alih-alih memperoleh kemakmuran, mereka mengalami masa-masa represi tentara dan harapan ekonomi mereka pun musnah.

"Negara ini sama sekali tidak memperoleh keberuntungan dari kemajuan yang kita lihat di Asia. Dan itu artinya yang pertama dan utama, kami punya 60 juta rakyat--59 juta dintaranya dalam kondisi miskin dengan cara yang tidak seharusnya mereka menjadi miskin," jelas Dr Myint-U.

Tetapi sekarang Myanmar mulai terbuka dengan dunia luar. Dalam dua tahun terakhir ini pemilihan umum sudah digelar, kebebasan berekspresi semakin meningkat dan perusahaan asing mulai berdatangan, tertarik untuk berbisnis di pasar yang baru.

Dr Myint-U percaya bahwa jalan masih panjang untuk menuju ke sana.

"Saya kira cakupan negara ini dalam jangka waktu lama (terlalu) disederhanakan," ucapnya.

'Negara ini dikesankan sebagai negara yang satu-satunya kisah adalah kisah tentang junta militer dan jenderal-jenderal, melawan gerakan demokrasi dan Daw Aung San Sui Kyi, sedangkan, pada kenyataannnya situasi itu situasi politik yang sangat rumit," papar Dr Myint-U.

Pelanggaran hak asasi manusia dan konflik etnik terus berlanjut di Myanmar dan pertumbuhan ekonomi melambat karena tata kelola yang buruk.

"Anda akan mendapatkan banyak orang yang datang dengan pemikiran ini adalah batasan selanjutnya," kata mantan duta besar Inggris Vicky Bowman, yang memimpin  Myanmar Centre for Responsible Business yang berbasis di Yangon.

"Ini negara yang memiliki penduduk hingga 60 juta orang, ini sangat penting."

Akses listrik

Data statistik ekonomi menyebutkan cerita yang berbeda untuk orang yang berbeda di seluruh negara.

Setengah pengguna internet telepon genggam sudah bisa online tahun lalu dan sewa kantor di beberapa lokasi di Yangon lebih mahal dari kota New York.

Namun hampir 70 persen rakyat Myanmar masih tidak punya akses untuk mendapatkan listrik.

"Ada beberapa masalah yang menjadi kunci masalah, yaitu perusahaan yang potensial mengatakan bahwa mereka akan datang ke sini, mereka ingin mendapatkan keuntungan dengan biaya buruh Myanmar yang murah. Tetapi mereka tidak punya listrik, mereka tidak mungkin mengoperasikan generator diesel selama 12 bulan setahun di perusahaannya, ini terlalu mahal dan tidak akan membuat mereka kompetitif," jelas Ms Bowman.

Myanmar mengandalkan pada booming modal dan dan kepercayaan investasi perusahaan asing untuk memmbangkitkan ekonominya.

Tetapi tetap tidak jelas apakah pertumbuhan ekonomi akan memperkaya mereka yang sudah berkuasa atau memberi imbas ke jutaan orang yang dibuat putus asa karena perubahan.

"Apa yang saya harapkan, ekonomi akan tumbuh, kita akan terus melihat kehidupan politik yang lebih terbuka, tapi itu akan membuat kami belajar dari pengalaman negara-negara lain dan mengejar ketertinggalan dengan cara yang benar-benar memberi manfaat kepada rakyat di sini," pungkas Dr Myint-U.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement