REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida mengatakan akan mempertimbangkan apakah akan melonggarkan sanksi terhadap Korea Utara.
Pernyataan Kishida tersebut disampaikan setelah Korut mengatakan berencana melakukan penyelidikan kembali terhadap warga negara Jepang yang diculik Korut puluhan tahun lalu.
Mei lalu, Korut setuju membuka kasus untuk menentukan status warga Jepang tersebut. Sebagai gantinya, Jepang berjanji mencabut pembatasan perjalanan, pembatasan jumlah uang yang dikirim atau dibawa ke Korut tanpa memberitahu otoritas Jepang dan mengizinkan kapal kemanusiaan Korut.
Namun, Korut memiliki sejarah kerap mengingkari perjanjian. Jepang mengatakan keputusan akhir untuk melonggarkan sanksi akan dibuat jika penyelidikan kembali dinilai efektif. Diplomat Jepang bertemu diplomat Korut hari ini untuk mengevaluasi rencana Korut.
"Besok, para menteri kabinet akan bertemu dan setelah mengevaluasi hasil diskusi, mereka akan memutuskan bagaimana seharusnya pemerintah (Jepang) bersikap," ujar Kishida kepada waratwan.
Keringanan itu berbeda dengan sanksi PBB yang diberikan Jepang dan negara anggota PBB atas uji coba nuklir pertama pada 2006. Korut dilarang melakukan uji coba atom dan rudal. Negara anggota PBB dilarang melakukan perdagangan senjata dan transaksi keuangan yang memfasilitasi itu.
Pada 2002 Korut telah mengakui menculik sejumlah warga negara Jepang pada 1970an dan 1980an dengan alasan membantu pelatihan mata-mata. Lima warga yang diculik dan keluarganya telah kembali ke Jepang.
Korut mengatakan delapan warga Jepang yang diculik telah meninggal dan kasusnya ditutup. Namun, Jepang terus menekan untuk mendapat informasi nasib warganya.
Pada 2008, Korut berjanji akan membuka kasus penculikan tersebut, tapi belum ada kelanjutannya. Korut juga mengingkari janji yang dilakukan saat pembicaraan multilateral untuk mengakhiri program nuklirnya. Korut menyatakan perjanjian itu telah selesai.