Rabu 09 Jul 2014 21:58 WIB

Potret Aborigin Perkotaan Hadir di Tiga Kota Indonesia

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama ini, penduduk asli Australia, Aborigin,seringkali diidentikkan dengan mereka yang tinggal di pedalaman atau kepulauan Selat Torres. Namun lewat seni visual ‘message stick’, anggapan tersebut bisa dipatahkan. Sebelas karya seni warga Aborigin perkotaan ditampilkan dalam sebuah pameran yang digelar di tiga kota besar Indonesia.

Seni visual karya Christian Bumbarra Thompson yang bertajuk 'Hunting Ground'. Christian berasal dari suku Bidjara dan tinggal di Melbourne. (Foto: Nurina Savitri)
Pekan pertama bulan Juli selalu diperingati warga Australia sebagai pekan NAIDOC (National Aborigines and Islanders Day Observance Committee), yakni, perayaan sejarah; budaya; dan prestasi penduduk asli Aborigin serta kepulauan Selat Torres. Tahun ini, pekan NAIDOC berlangsung pada tanggal 6-13 Juli dan bertemakan “Melayani Negara: Satu Abad dan Seterusnya, menghormati para perempuan dan pria yang berjuang untuk negara.”

Bersamaan dengan perayaan tersebut, Dewan Kebudayaan Internasional Australia mendatangkan 11 karya seni ‘message stick’ atau tongkat pembawa pesan, yang dibuat selama 25 tahun terakhir oleh seniman asli Aborigin, ketiga kota di Indonesia: Denpasar, Bandung, dan Jakarta. ‘Message stick’ adalah sarana komunikasi tradisional penduduk asli Aborijin yang terbuat dari sebilah kayu sepanjang 20-30 sentimeter. Pesan yang hendak disampaikan biasanya diukur di atas kayu tersebut.

Uniknya, kesebelas karya itu dibuat oleh seniman asli Aborigin yang tinggal di daerah perkotaan di seluruh Australia. Seluruh karya otentik tersebut memang berkisah tentang identitas penduduk asli Australia kontemporer.

Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, mengungkapkan, pameran yang menampilkan kesebelas karya seni visual itu diharapkan dapat memperdalam pemahaman masyarakat Indonesia tentang identitas budaya Australia modern.

“Hubungan pribadi dan budaya sungguh merupakan dasar hubungan Australia-Indonesia dan ‘message stick’ menghadirkan medium yang kuat di mana penduduk Indonesia dapat memperdalam pemahaman mereka tentang penduduk asli Australia kontemporer,” tutur Dubes Moriarty, baru-baru ini.

Debra Yatim (sebelah kanan, tampak depan dan memegang buku) tengah berdiskusi dengan seorang rekan di depan karya Julie Dowling yang bertajuk 'The Ungrateful'. (Foto: Nurina Savitri)
Di Jakarta, pameran seni visual penduduk asli Australia tersebut diadakan di D’Gallerie, Jakarta Selatan, selama tanggal 3-9 Juli 2014. Sebelum dipamerkan di Indonesia, 11 ‘message stick’ ini telah berkelana ke beberapa negara seperti Turki; Afrika Selatan; India; Thailand; serta Filipina.

Salah satu dari 11 karya yang dipamerkan adalah karya seniman Julie Dowling yang bertajuk “The Ungrateful.” Karya Julie ini mengetengahkan pengalaman kerabat Aboriginnya yang sempat diambil dan diadopsi oleh keluarga kulit putih pada usia 2 tahun.

Julie mengisahkan, beberapa tahun setelah sang kerabat diambil, ia akhirnya dikembalikan oleh keluarga kulit putih tersebut dengan alasan sang kerabat adalah anak yang manja dan sulit diatur. Lewat karyanya Julie ingin menyampaikan 'siapakah yang sebenarnya ‘tak bersyukur’, sang keluarga kulit putih pengadopsi atau sang kerabat berkulit hitam yang diadopsi?'.

Debra Yatim, salah seorang pengunjung pameran di D’Gallerie, mengungkapkan ketertarikannya atas karya seni buatan penduduk Aborigin ini. Menurutnya, karya Julie dan 10 seniman lainnya dapat memberi wawasan baru kepada orang Indonesia yang tak begitu paham mengenai budaya Australia.

“Saya senang sekali DFAT Australia punya inistiatif untuk menyelenggarakan ini. Kita kan dua negara bertetangga tapi tidak terlalu kenal, ibaratnya seperti anak SD yang duduk sebelahan tapi ada tongkat pemisah di tengahnya, jadi sama-sama tidak saling tahu. Jadi ini sarana yang bagus," ujar Debra kepada Nurina Savitri dari ABC International.

Ia menambahkan, "Yang sangat disayangkan, orang Indonesia tidak tahu bahwa seni rupa, perkembangan kesenian di Australia begitu dinamis. Indigenous people tidak usah melulu di kampung tapi bisa juga di kota, ini adalah pendidikan yang bagus."
Nicholas Hemay tengah mencermati karya Robert Campbell Jnr yang berjudul 'Please Welfare, Don't Take My Kids'. Karya Robert yang dibuat tahun 1987 ini adalah seni visual favorit Nicholas. (Foto: Nurina Savitri)
Karya lain yang dipamerkan adalah buatan almarhum Robert Campbell Jnr, yang mengangkat kebingungan pribadinya sebagai seorang penduduk asli Aborijin. Robert mempertanyakan identitas Aborijin yang disandangnya dan 'stereotype' karakter Aborigin yang ia terima selama masa hidupnya, dari masyarakat kulit putih Australia.

Dr. Nicholas Hemay dari Universitas Deakin, yang ditemui ABC dalam acara pembukaan pameran di D'Gallerie, mengamini pengalaman Robert. Nicholas mengutarakan, ada banyak penduduk Aborigin yang masih bertanya-tanya mengenai identitas mereka. Beruntung, zaman kini telah berubah.

Kepada Nurina Savitri, ia mengatakan, "Seni visual ini merayakan kebebasan berekspresi orang Aborigin. Namun selain itu juga menunjukkan bakat orang Aborigin, dan ketidakadilan yang mereka rasakan. Karya seni ini adalah saluran yang pas untuk mengekspresikan kondisi itu."

Ia tak menampik bahwa pameran yang mengangkat karya seni penduduk asli Aborigin ini adalah “Bagian dari people to people connection" dan penting bagi hubungan Australia dan Indonesia. Lebih lanjut ia menguraikan, "Budaya adalah bagian yang penting. Seni Aborijin adalah bagian dari seni Australia yang dinamis. Seni Aborijin juga sudah modern. Saya senang hal seperti ini bisa dibagi dengan masyarakat Indonesia."
Penyanyi, penulis lagu dan pemain didgeridoo Australia, Phillip Walley-Stack, tengah beraksi di acara pembukaan pameran 'message stick' di D'Gallerie, Jakarta Selatan. (Foto: Nurina Savitri)
Bagi Phillip Walley-Stack, seorang penyanyi dan pemain digderidoo (instrumen tradisional Aborijin), kebebasan berekspresi yang telah dirasakan penduduk asli Aborijin sekarang ini adalah suatu kemewahan yang tak pernah dirasakan para pendahulunya.
Phillip, yang mewarisi bakat seni dari kedua orang tuanya, mengisahkan perjuangan kakeknya pada masa diskriminasi masih begitu kental dirasakan oleh penduduk Aborigin.

“Kakek saya pernah dipenjarakan karena pergi ke kota. Itu terjadi 40 atau 50 tahun lalu, masih tak tergolong lama sebenarnya. Dulu, orang Aborigin tak boleh pergi ke kota," kenangnya.

Walau tak membantah masih adanya sedikit diskriminasi yang ia rasakan, Phillip yakin, cepat atau lambat kondisi itu akan sirna. Ia pun bersyukur, kini, penduduk Aborigin memiliki ruang bebas untuk mengekspresikan diri.
“Ada banyak perbedaan hari ini. Banyak orang mendengarkan kami sekarang ini dibanding jaman kakek saya dulu, jadi tentu saja saya bahagia sebagai orang Aborigin," ujarnya menutup obrolan.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement