REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sengketa mengenai pemilihan presiden Afghanistan berakhir setelah dua hari pembicaraan gencar antara kedua calon presiden yang bersaing dan Menteri Luar Negeri AS John Kerry, yang sedang berkunjung.
Dalam taklimat bersama pada Sabtu larut malam dengan kedua calon, Kerry mengumumkan semua semua kertas suara selama pemilihan presiden 14 Juni akan diperiksa kembali setelah kedua calon presiden yang saling mengklaim sebagai pemenang --Ashraf Ghani Ahmadzai dan Abdullah Abdullah-- mencapai kesepakatan untuk memeriksa semua suara dan, siapa pun akhirnya sebagai pemenangnya, akan membentuk pemerintah persatuan.
"Pertama, sehubungan dengan pemilihan presiden, kedua calon telah menyampaikan komitmen untuk ikut dan mematuhi hasil pemeriksaan terbesar dan paling menyeluruh. Setiap kertas suara yang diberikan akan diperiksa 100 persen," kata diplomat senior AS tersebut.
"Ini adalah sinyal paling kuat yang mungkin dari kedua pihak untuk memulihkan keabsahan mengenai proses itu dan demokrasi Afghanistan," katanya.
Ia mengatakan kedua calon serta Presiden Hamid Karzai menyampaikan komitmen untuk berkompromi. "Mereka telah mendukung proses konstitusi."
Pemeriksaan tersebut akan dilakukan sejalan dengan standard tertinggi internasional, kata Kerry kepada wartawan dalam taklimat itu, yang juga dihadiri oleh Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Afghanistan Jan Kubis.
"Kedua, audit tersebut akan diselenggarakan di Kabul, dan akan dimulai dalam waktu 24 jam. Pemeriksaan akan dimulai dengan kotak suara yang saat ini berada di sini, dan kotak suara akan dibawa ke Kabul oleh ISAF (Pasukan Bantuan Keamanan Internasional) dan diamankan oleh pasukan keamanan nasional Afghanistan serta ISAF," kata Kerry, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad pagi.
Pemilihan presiden ketiga Afghanistan sejak 2001 diselenggarakan pada 5 April. Delapan calon bersaing dalam proses tersebut dan dua calon utama --Abdullah Abdullah serta Ashraf Ghani Ahmadzai-- maju ke putaran kedua.
Hasil awal dari pemilihan presiden 14 Juni yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 7 Juli memperlihatkan Ashraf Ghani mengumpulkan 56,44 persen dari lebih delapan juta suara sedangkan Abdullah meraih 43,56 persen.
Proses yang kontroversial itu telah melahirkan kebuntuan setelah Abdullah --yang mengantungi 45 persen dari tujuh juta suara dalam pemungutan suara pada 5 April, sedangkan Ashraf Ghani mengumpulkan 31,6 persen suara-- telah menuduh Komisi Pemilihan Umum memihak pada Ashraf Ghani. Abdullah mengatakan setiap keputusan oleh badan penyelenggara pemilihan umum itu tak bisa diterima kecuali suara berseih disaring dari suara yang palsu.
Diplomat senior AS itu juga mengatakan karena proses pemeriksaan akan diselenggarakan selama dua pekan, "kami meminta penundaan proses pelantikan", yang mulanya ditetapkan pada 2 Agustus.