REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Malaysia Airlines berada dalam krisis keuangan mengerikan bahkan sebelum kehilangan pesawatnya, MH-370 pada 8 Maret lalu. Analis memproyeksikan maskapai ini kemungkinan akan sulit melanjutkan bisnisnya ketika kecelakaan terbaru Kamis (17/7) terjadi di Ukraina, perbatasan Rusia.
Pada tragedi pertama, MH-370 hilang bersama 239 penumpang dan kru di dalamnya saat terbang dari Kuala Lumpur menuju Beijiing . Pada tragedi kedua, MH-17 jatuh hancur menewaskan 295 penumpang dan kru saat dalam perjalanan dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur. Dua bencana ini akan membuat sulit maskapai untuk tetap beroperasi.
"Ini akan sulit (bagi Malaysia Airlines)," kata analis R.W. Mann & Co di Port Washington, Robert Mann, dilansir dari USA Today, Jumat (18/7).
Meskipun pendapatan terus tumbuh, maskapai jiran itu telah mencatat pengeluaran tinggi selama bertahun-tahun karena mahalnya bahan bakar, pajak bandara, serta persaingan operator penerbangan murah. Hal ini kemudian diperparah dengan melemahnya mata uang lokal terhadap dolar AS.
"Kejadian ini adalah berita besar bagi maskapai penerbangan Malaysia. Sangat penting untuk sebuah maskapai penerbangan menentukan apakah kecelakaan itu adalah akibat ditembak, dengan demikian di luar kendali Malaysia Airlines, atau justru masalah dari kabin pesawatnya," kata analis Atmosphere Research Group di San Fransisco, Henry Harteveldt.
Malaysia Airlines adalah maskapai nasional yang menerbangkan hingga 37 ribu penumpang dan 250 keberangkatan setiap harinya untuk 80 tujuan di dunia. Penumpangnya naik 13 juta orang pada 2011, menghasilkan pendapatan hingga 4,5 miliar dolar AS.
Armada Malaysia Airlines terdari 88 pesawat Boeing 747-400 meliputi, 777-200ER, 737-800 dan 737-400, serta Airbus A330-300, A330-200 dan A380-800.