Sabtu 19 Jul 2014 11:13 WIB

Kisah Suami-Istri Pramugara-Pramugari Malaysia Airlines

Jijar Singh, ayah dari pramugara Malaysia Airlines Sanjid Singh yang tewas dalam kecelakaan pesawat MH17 di Ukraina, Kamis (17/7)
Foto: the malaysian insider
Jijar Singh, ayah dari pramugara Malaysia Airlines Sanjid Singh yang tewas dalam kecelakaan pesawat MH17 di Ukraina, Kamis (17/7)

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Sanjid Singh adalah satu dari 15 awak yang bertugas di pesawat Malaysia Airlines Boeing 777 bernomor penerbangan MH17 yang berakhir tragis dan jatuh di Ukraina pada hari Kamis (17/7). Penerbangan MH17 dari Amsterdam ke Kuala Lumpur tersebut membawa 298 orang penumpang yang keseluruhannya tewas dalam peristiwa tersebut.

Pada hari peristiwa naas itu terjadi, Sanjid Singh seharusnya tidak sedang bertugas. Tapi, ia mengajukan pertukaran jadwal terbang agar bisa bertugas di penerbangan MH17.

Takdir pernah menyelamatkan jiwa istri Sanjid, yang juga seorang pramugari, ketika si istri yang seharusnya bertugas di penerbangan MH370 dari Kuala Lumpur ke Beijing menukar jadwal terbang dengan koleganya. Pesawat itu kemudian hilang dengan membawa 239 orang penumpang.

"Istri Sanjid bermaksud terbang dengan MH370 tapi menukar jadwalnya dengan koleganya pada menit terakhir," kata Jijar Singh, ayah Sanjid, kepada harian The Malaysian Insider.

Sanjid Singh tinggal dengan istrinya dan anak mereka yang berusia tujuh tahun di Kuala Lumpur. "Ia terakhir berada di sini (Penang) sebulan yang lalu. Ia belum bilang kepada kami kalau ia menukar jadwal terbang saat kembali dari Amsterdam ke Kuala Lumpur," kata Jijar Singh.

Jijar mengatakan putranya sudah lama ditunggu-tunggu. "Ibunya sudah menyiapkan semua makanan favoritnya," kata Jijar.

Anak perempuan Jijar yang tinggal di Italia memberitahunya mengenai kecelakaan itu pada Jumat (18/7) subuh meski ia sudah mengetahui mengenai tragedi itu empat jam sebelumnya.

"Saya sudah dua kali menjalani operasi bypass jantung. Anak perempuan kami menunggu hingga jam empat pagi untuk memberitahu kami. Ia tidak berani mengabari kami. Saya 71 tahun dan ibu Sanjid 73 tahun. Kondisi kami lemah. Seluruh tubuh saya bergetar," kata Jijar.

"Kami sangat terpukul karena ia anak lelaki kami satu-satunya. Tapi apa yang bisa kami lakukan? Semua telah terjadi."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement