REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Pengamat Indonesia Dr Jeffrey Neilson dari Universitas Sydney menilai, hubungan perdagangan dengan Australia dan Indonesia kemungkinan akan lebih sulit dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden. Paling tidak, katanya, hal itu akan terjadi di awal-awal periode pemerintahan baru Indonesia.
"Prabowo berhasil meraih 47 persen suara, terutama disebabkan sikapnya yang sangat nasionalis. Ini kelihatannya yang menjadi kekurangan kubu Jokowi," kata Dr Neilson, baru-baru ini.
"Saya bisa bayangkan situasi dimana Jokowi dipaksa memenuhi keinginan untuk terlihat lebih nasionalis. Dan hal ini akan berwujud dalam bentuk proteksionisme dalam sejumlah sektor ekonomi seperti gula dan daging sapi," katanya.
Dewasa ini, produk segar dari luar negeri harus mengikuti sejumlah persyaratan untuk bisa masuk ke Indonesia. Kalangan importir harus mengajukan kuota kepada pemerintah, dan kuota yang diminta tersebut harus benar-benar diwujudkan minimal 80 persen. Jika tidak, importir tersebut akan kena denda.
Selain itu, pengajuan kuota ini juga harus diperbarui setiap tahun. Tetapi Joko Widodo harus menyeimbangkan tekanan dalam negeri untuk melindungi produksi pertanian, termasuk beras, jagung, daging sapi, gula dan kedelai.
Pakar Indonesia Professor Greg Fealy dari Australian National University mengatakan bahwa dalam urusan luar negeri, Jokowi mungkin akan sangat pragmatis.
"Dia lebih terang-terangan nasionalis daripada Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih negarawan," katanya.
"Dia mungkin akan mengambil garis keras terhadap investasi asing, karena dia memiliki pandangan bahwa Indonesia belum mendapatkan tawaran bagus dalam keterlibatan dengan perdagangan; bahwa tidak banyak serta tidak cukup nilai ekspor dan sumber daya yang dikelola di Indonesia."
Joko "Jokowi" Widodo terpilih sebagai Presiden Indonesia yang baru (Foto: Darren Whiteside)
Tapi Jokowi membutuhkan kebelanjutan pertumbuhan ekonomi 5 sampai 6 persen, sehingga ia tidak bisa memperlambat investasi asing.
Indonesia merupakan pasar pertanian terbesar ketiga di Australia, dengan ekspor senilai $ 2,3 miliar pada tahun 2012. Indonesia juga berada di peringkat 12 sebagai mitra dagang dua arah dengan Australia.
Ekspor utama pertanian Australia ke Indonesia adalah gandum, kapas, hewan hidup, daging, produk hortikultura dan gula. Komoditas unggulan adalah gandum. Australia mengekspor gandum senilai $1,3 miliar pada tahun 2012. Komoditas ekspor lainnya adalah aluminium, tembaga, minyak mentah dan emas.
Associate Professor Fealy mengatakan pragmatisme Jokowi telah dipengaruhi oleh latar belakangnya di bidang manufaktur dan ekspor furnitur.
Australia memiliki program-program penanganan peternakan untuk meningkatkan industri ternak di Indonesia, serta mengekspor ternak hidup dan daging sapi kemas. "Jadi saya harapkan Joko Widodo berkeinginan mendorong program-program yang untuk jangka panjang akan membangun industri di Indonesia," kata Profesor Fealy.
Dikatakannya, kekayaan Indonesia telah dibangun di atas permintaan konsumen yang meningkat di Indonesia. Namun Bank Dunia dan bank-bank dagang lainnya mengatakan, Indonesia hanya akan tumbuh jika pemerintah membuka perdagangan, dan lebih memfokuskan pada ekspor.
Sementara itu Dewan Eksportir Ternak Australia menyatakan kalangan industri ini tidak melihat kemungkinan perubahan drastis dalam hubungan kedua negara terkait industri ternak dari pemerintahan baru di Indonesia.